Kamis, 26 Februari 2009

MEMULAI BERWIRAUSAHA

MEMULAI BERWIRAUSAHA

Pengantar
• Harus memulai dari mana?
• Biasanya muncul keragu-raguan
• Ketakutan akan kegagalan
– Jangan-jangan tidak laku
– Jangan-jangan rugi

Langkah-langkah memulai berwirausaha :
• Mengenali peluang usaha
• Optimalisasi potensi diri
• Fokus dalam usaha
• Berani memulai

Mengenali peluang usaha :
Kemampuan mengenali peluang usaha
tergantung pada faktor informasi

Faktor informasi dipengaruhi oleh :
a. Pengalaman hidup
- fungsi kerja
- variasi kerja
b. Hubungan sosial
- Informasi dari hasil interaksi dengan orang lain
- Bila tidak berani memulai usaha sendiri,
disarankan memulainya bersama orang lain
atau secara berkelompok

Informasi yang diperlukan : lokasi, potensi
pasar, sumber modal, pekerja, dan cara
pengorganisasiannya
Optimalisasi potensi diri

Keunggulan kompetitif :
- Keahlian khusus (terapis)
- Pengetahuan (konsultan keuangan)
- Motivasi dan kepribadian
- Pelayanan konsumen (excellent service)
Fokus dalam usaha

• Peter Drucker (pakar kewirausahaan) menyarankan bahwa dalam memulai sebuah usaha atau inovasi sebaiknya dilakukan secara fokus yaitu dimulai dari hal kecil berdasarkan sumberdaya yang kita miliki.
Berani memulai
Karena ketidakpastian dunia usaha, maka seseorang sangat diperlukan untuk :
- Overconfidence
- Berani mengambil resiko

Beberapa sumber peluang usaha
• Perubahan teknologi
• Perubahan kebijakan dan politik
• Perubahan sosial demografi

DISIPLIN

DISIPLIN

A. Disiplin dalam kehidupan pribadi

Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu system yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.

Dalam ajaran, Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist, yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59, yang artinya :
" Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu…………..(An Nisa 59)

disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa.
Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehdupan pribadi, dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

>> Disiplin dalam penggunaan Waktu

Disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Hari yang sudah lewat tak akan datang lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa di dunia mempunyai ungkapan yang menyatakan penghargaan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan „waktu adalah uang", peribahasa Arab mengatakan „ Waktu adalah pedang", atau „Waktu adalah peluang emas", dan kita orang Indonesia mengatakan :" sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna".

Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan pribadinya.

>> Disiplin dalam beribadah

Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertia yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendah diri hanya kepada Allah yang disertai perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa disiplin dalam beribadah itu mengendung 2 hal :

a. Berpegang teguh apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah dan makruh.

b. Sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat kepada-Nya. Perhatikan firman Allah dalam Suat Ali Imran ayat 31 :
" Katakanlah : " Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran 31)

sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu :

a. Ibadah Mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah.
b. Ibadah Ghaira Mahdah (selain mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan.

Dalam ibadah Mahdah (disebut juga ibadah khusus) aturan-aturannya tidak boleh semaunya akan tetapi harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru misalnya, shalat subuh 3 raka’at atau puasa 40 hari terus menerus tanpa berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam ibadah, karena tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat.

Dalam ibadah Ghaira mahdah (disebut juga ibadah umum) orang dapat menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena riya ingin mendapatkan pujian orang lain.

B. Disiplin dalam bermasyarakat

Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat, mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama, yang harus dihormati dan di hargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut.

Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang didalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, mana kala salah satu komponen rusak atau binasa. Hadis NAbi SAW menegaskan :
" Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan jari-jari yang sebelah kejari-jari tangan sebelah lainnya". ( H.R.Bukhori Muslim dan Turmudzi)

C. Disiplin Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Negara adalah alat untuk memeperjuangakan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleha para anggota atau warganegara tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah agar seluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan.
Rasulullah bersabda yang artinya :
„ Seorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah mengerjakan maksiat, maka tidak wajib untuk mendengar dan taat". (H.R.Bukhari Muslim).

Tags: belajar
Prev: Qana'ah
Next: IMAN KEPADA HARI AKHIR { Part 1}
http://annilasyiva.multiply.com/journal/item/46

MANAJEMEN SEKOLAH BERBASIS MUTU

MANAJEMEN SEKOLAH BERBASIS MUTU

Manajemen Mutu harus menjawab beberapa pertanyaan :

1). Bagaimana produk sekolah (lulusan) yang diharapkan oleh masyarakat (pelanggan) ?
2). Bagaimanakah desain proses pembelajaran harus dilakukan ?
3). Bagaimanakan menjalankan proses pembelajaran agar efisien dan efektif ?
4). Bagaimanakah lulusan agar dapat berkualitas dan berkompetisi ?

Table 2. Karakteristik Sekolah Berwawasan Manajemen Mutu

No Karakteristik Sekolah Berwawasan Mutu
1 2
1 Memiliki rumusan visi sekolah tersendiri
2 Memiliki rumusan misi sekolah tersendiri
3 Memfokuskan kepuasan semua pelanggan sekolah
4 Mencegah munculnya masalah-nasalah disekolah
5 Investasi SDM/tenaga kependidikan/guru dengan rencana yang baik
6 Memiliki strategi peningkatan mutu pendidikan
7 Keluhan/konflik di sekolah dimanfaatkan untuk belajar (learning organization)
8 Mendefinisikan karakteristik mutu pada semua bidang menyangkut kegiatan sekolah
9 Mempunyai kebijakan dan perencanaan strategic sekolah
10 Kepala sekolah memimpin adanya gerakan mutu di sekolah
11 Proses pengembangan melibatkan semua tenaga kependidikan di sekolah
12 Fasilitator mutu di sekolah memimpin proses pengembangan dan perbaikan
13 Menciptakan mutu dengan mendorong munculnya kreativitas di sekolah
14 Memberikan peranan dan tanggung jawab dengan jelas kepada tim/unit yang dibentuk
15 Mempunyai strategi yang jelas dalam melakukan evaluasi
16 Memperhatikan kebermaknan mutu untuk meningkatkan kepuasan pelanggan
17 Merencanakan peningkatan mutu dalam jangka panjang
18 Mutu dilihat sebagai bagian dari budaya dan kultur sekolah
19 Meningkatkan mutu sejalan dengan tuntuntan strategi sekolahnya sendiri
20 Memperlakukan kolega sebagai pelanggan sekolah

Table 3. Perbedaan Paradigma Baru dan Lama dalam Pendidikan

Paradigma Baru Pendidikan Paradigma Lama Pendidikan
 Hasil ujian merupakan informasi untuk melakukan bimbingan dan arahan agar siswa bergerak lebih maju, bermutu, dan proaktif
 Siswa diperlakukan sebagai pelanggan

 Keluhan siswa ditangani secara cepat dan effisien

 Diusahakan membangun proaktif para siswa dengan memberikan kesempatan-kesempatan

 Layanan sekolah diusahakan memuaskan tidak hanya siswa tetapi semua pelanggan dan sesuai kebutuhan
 Selalu direncanakan ada tindak lanjut untuk lulusan bahkan informasi pekerjaan
 Siswa diperlakukan dengan sopan, hormat & penuh pertimbangan
 Tekanan manajemen pada ketrampilan kepemimpinan mutu, perberdayaan & partisipasi aktif karyawan
 Manajemen secara aktif mempromosikan kerjasama tim dan solusi masalah oleh tim atau unit kerja
 System informasi sekolah memberikan laporan yang bermanfaat untuk membantu manajemen sekolah dan guru
 Staf administrasi bertanggungjawab dan siap memberikan pelayanan dengan cara yang mudah dan cepat (bermutu) guna memenuhi kebutuhan siswa dan pelanggan lain  Hasil ujian tidak digunakan sebagai informasi untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada siswa

 Siswa dianggap bukan sebagai pelanggan
 Keluhan siswa ditangani dalam bentuk defensive dan kadang dengan cara negative
 Siswa tidak didorong untuk memberikan saran pendapat atau menyampaikan keluhan
 Layanan sekolah kurang diperhatikan tidak memperlakukan karyawan dan atau siswa sebagai pelanggan utama

 Tidak ada atau kurang ada tindak lanjut yang cukup tepat untuk siswa dan alumni
 Siswa dianggap lebih rendah, kurang perlakukan hormat & pertimbangan
 Tekanan manajemen pada pengawasan karyawan, system dan kerja rutin
 Banyak keputusan manajemen dibuat tanpa masukan dan informasi dari karyawan dan siswa
 Informasi tidak ada atau kurang sehingga tidak atau kurang mendukung manajemen mutu sekolah dan guru
 Staf administrasi kurang berani tanggungjawab dan kesiapan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan para pelanggan sekolah

Table 4. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pemberdayaan Guru Menuju Visi Profesionalitas

NO Usaha-Usaha Pemberdayaan SDM Menuju Visi Profesionalitas Guru
1. Melibatkan semua guru dalam kegiatan penyelesaian masalah-maslah sekolah
2. Memanfaatkan metode keilmuan dan mutu berbasis prinsip-prinsip statistik dan proses serta hasil pemantauan
3. Mendiskusikan bagaimana sebuah proyek sekolah harus ditangani dan berhasil tidak sekedar bercerita bahwa itu telah terjadi
4. Saling memberikan informasi untuk keperluan manajemen dan untuk mendorong semua tenaga kependidikan memiliki komitmen terhadap sekolah dengan kuat
5. Mendiskusikan system dan prosedur yang akan memberikan dan yang menhambat kepada kepuasan pelanggan
6. Memahami bahwa keinginan pengembangan yang berarti bagi guru tidak kompatibel dengan pendekatan dari atas kebawah
7. Perbarui usaha-usaha peningkatan professional guru dan bergerak sesuai dengan tanggungjawab serta pemantauan langsung dalam pengembangan professional guru dan tenaga kependidikan lainnya
8. Laksanakan rencana secara sistemik dan komunikasikan secara terus-menerus kepada semua yang terlibat di sekolah
9. Kembangkan ketrampilan dalam meresolusi konflik, pemecahan masalah, musyawarah, dan memberikan toleransi dan penghargaan adanya konflik yang justru positif dan membangun
10. Memberikan pendidikan dan pelatihan tentang konsep mutu, kerjasama tim, manajemen proses, layanan kepada pelanggan, komunikasi yang efektif dan kepemimpinan transformative
11. Menjadi penolong sekalipun tidak memiliki semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan tanpa merendahkan diri
12. Melakukan pendekatan, silaturrohim, kunjungan (walking around) mendengarkan suara guru dan pelanggan-pelanggan lainnya
13. Guru perlu belajar menjadi seorang pelatih (coach) dan menghindari perilaku boss
14. Memberikan otonomi kepada guru, mengambil resiko, adil dan ramah
15. Keterlibatan dalam menyeimbangkan dan meyakinkan pelanggan eksternal (siswa, orang tua dan sebagainya) tentang mutu dan pada saat yang sama menaruh perhatian pada kebutuhan pelanggan internal (guru, komite sekolah dan karyawan)
16. Guru melaksanakan proses pembelajaran secara aktif, membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk bertanya, kreatif dan proaktif
17. Memberikan kesempatan kepada guru dalam pengembangan kurikulum dan silabi sesuai dengan kondisi saat mutakhir
18. Meningkatkan kepedulian guru dalam mengajar, bukan sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga mendidik, melatih, membimbing, mengarahkan dan menggerakkan siswa menuju keberhasilan bersama yaitu kepuasan pelanggan
19. Sosialisasi sekolah tentang manajemen mutu secara terpadu, yaitu mutu adalah kepuasan pelanggan sekolah yang harus selalu diusahakan dan dipenuhi
20. Mutu tidak hanya mutu lulusan (produk), tetapi juga mutu proses pembelajaran, mutu layan sekolah/guru, mutu lingkungan sekolah dan mutu SDM yaitu tenaga kependidikan terutama guru
21. Membangun dan mengembangkan system penempatan guru baru, mutasi guru dan system karier bagi guru
22. Meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan guru dan mengurangi beban psikologis guru
23. Mengurangi ketidaksesuaian guru dalam mengajar (minimizing teacher mismatch) dengan berbagai pendekatan
24. Program pengembangan sumber daya tenaga kependidikan, memperoleh jenjang S1 bagi pemegang diploma, dan jenjang S2 untuk jabatan kepala sekolah
25. Memanfaatkan desentralisasi pendidikan karena memberikan otonomi, kesempatan dan optimalisasi sekolah dalam memberdayakan tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan mutu sekolah serta profesionalitas guru

Didalam buku : “Membangun Profesionalisme Muhammadiyah”
Judul Tulisan : ‘Membangun Visi Profesionalitas dan Mutu Sekolah Muhammadiyah’

KEMANDIRIAN ANAK DIDIK

KEMANDIRIAN ANAK DIDIK

Kemandirian merupakan bentuk kemampuan pengendalian diri seseorang terhadap linkungannya. Dalam perkembangan dunia modern, salah satu bentuk kemandirian sering dihubungkan dengan makna entrepreneurship yang akan mengarahkan seseorang pada upaya produktivitas, inovatif, fleksibel, dinamis, kreatif dan berani mengambil resiko (Yusmilarso, 1999).

Ciri-ciri entrepreneurship (sering diartikan pula sebagai wirausahawan), adalah :
- percaya diri
- berorientasi pada tugas dan hasil
- berani mengambil resiko
- berjiwa kepemimpinan
- berorientasi kedepan
- memiliki prakarsa
- instuisi yang kuat
- memiliki kebebasan mental
- kompetensi inti

memasuki abad 21, pola pikir organisasi harus berubah dengan mengingat beberapa aspek, antara lain :
- adanya lingkungan yang penuh ketidak pastian
- penekanan pada visi, misi dan nilai kerja
- proaktif
- sikap entrepreneur
- kreativitas
- instuisi
- inovasi

Perubahan pola pikir ini diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi tuntutan dan kebutuhan masyarakat (Supardi, 2000).
Kecakapan atau keahlian seseorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan rutin yang terkondisi, tetapi perlu didasari oleh wawasan yang mantap, memiliki wawasan sosial yang luas, bermotivasi dan berusaha untuk berkarya (Samana, 1994).

Didalam buku : “Membangun Profesionalisme Muhammadiyah”
Judul Tulisan : ‘Peranan Pendidikan Pada Kemandirian dan Profesionalisme Anak Didik ’

Selasa, 24 Februari 2009

Kejujuran

Kejujuran

Arti jujur

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.


Kenapa harus jujur?

Saya sering mendengar orang tua menasehati anak supaya harus menjadi orang yang jujur. Dalam mendidik dan memotivasi supaya seorang anak menjadi orang yang jujur, kerap kali dikemukakan bahwa menjadi orang jujur itu sangat baik, akan dipercaya orang, akan disayang orang tua, dan bahkan mungkin sering dikatakan bahwa kalau jujur akan disayang/dikasihi oleh Tuhan. Tapi setelah mencoba merenungkan dan menyelami permasalahan kejujuran ini, saya masih merasa tidak mengerti: "Kenapa jadi orang harus jujur?"

Umumnya jawaban yang saya dapat adalah bahwa kejujuran adalah hal yang sangat baik dan positif, dan kadang saya juga mendapat jawaban bahwa "Pokoknya jadi orang harus jujur!"

Jawaban-jawaban tersebut sampai saat ini memang sudah saya anggap "benar", tapi saya masih selalu tergelitik untuk terus mempertanyakan: "Kenapa orang harus jujur? Apakah baik dan positifnya? Lalu bagaimana juga jika dikaitkan dengan proses Siu Tao ( ) kita?"


Bagaimana bersikap jujur

Selain pertanyaan - pertanyaan diatas, selanjutnya dalam benak saya timbul pertanyaan: " Bagaimanakah kejujuran itu dapat dipraktekkan dalam sehari-hari, serta bagaimanakah sikap kita sebagai (dibaca: agar dapat menjadi) seorang Tao Yu ( ) yang jujur?"

• Apakah kita sama sekali tidak boleh berbohong?
• Dan mungkinkah kita selalu jujur dalam kehidupan sehari-hari ini?
• Ataukah masih ada toleransi bagi kita untuk berbohong dalam hal-hal tertentu atau demi kepentingan tertentu?
Nah, sekali lagi saya mengajak para pembaca untuk merenungkannya bersama!


Contoh yang "Lucu" (dibaca: tidak jujur)

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melihat (bahkan juga ikut terlibat) dalam berbagai macam bentuk aktivitas interaksi sosial dimasyarakat, yang justru kebanyakannya adalah wujud realisasi dari sikap tidak jujur dalam skala yang sangat bervariasi, seperti:

Sering terjadi, orang tua bereaksi spontan saat melihat anaknya terjatuh dan berkata "Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, enggak sakit, kok! Jangan nangis, yach!".

Menurut saya, dalam hal ini secara tidak langsung si-anak diajarkan dan dilatih kemampuan untuk dapat "berbohong", menutup-nutupi perasaannya (sakit) hanya karena suatu kepentingan (supaya tidak menangis).

Selain itu saya juga sering melihat dan mengalami kejadian seperti: Saat seseorang bertamu kerumah orang lain, ketika ditanya: " Sudah makan, belum?", walaupun saya yakin tawaran sang tuan rumah "serius" biasanya dengan cepat saya akan menjawab "Oh, sudah!! Kita baru saja makan ", padahal sebenarnya saya belum makan.

Dalam lingkungan usaha / dagang, kejujuran sering disebut-sebut sebagai modal yang penting untuk mendapatkan kepercayaan. Akan tetapi sangat kontroversial dan lucunya kok dalam setiap transaksi dagang itulah justru banyak sekali kebohongan yang terjadi. Sebuah contoh saja: penjual yang mengatakan bahwa dia menjual barang "tanpa untung" atau "bahkan rugi" hampir bisa diyakini pasti bohong.

• Nah, jika demikian, lalu dimanakah letaknya kejujuran itu?
• Atau bagaimanakah kejujuran yang dimaksud tersebut dapat diaplikasikan dalam dunia sehari-hari?

Dalam Siu Tao

• Apakah belajar Tao ( ) mengejar Kesempurnaan harus tidak pernah berbohong sama sekali?
• Lalu bagaimanakah kita dapat menjalani hidup ini yang juga mau tidak mau "harus" bertopeng?
• Apakah mungkin, kita bisa tidak pernah berbohong sama sekali dalam hidup ini?
Pernah saya mencoba meyakinkan diri bahwa saya memang sudah "Jujur", tapi kemudian akhirnya saya kesulitan menjawab pertanyaan: "Apakah saya tidak membohongi diri sendiri?"

Lalu bagaimanakah sebenarnya? Nah, semoga para pembaca budiman bisa memberikan jawabannya (tentunya jawaban yang jujur , lho!).


Memilih Kejujuran atau Kebenaran?

Bertindak "jujur" belum tentu benar
Bertindak "benar" belum tentu jujur

Kedua kalimat diatas memang sering terjadi dan hal ini memang mengikuti hukum-hukum tertentu yang satu dengan lainnya berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan bisnis, etika kedokteran, cara memberi pelajaran pada anak, dan lain-lain semuanya mempunyai dasar hukum tertentu dan bukan berdasarkan kejujuran tetapi berdasarkan kebenaran.

Jujur menurut saya adalah sifat yang memang harus kita miliki dan boleh dikatakan mutlak harus kita punyai. Sifat jujur boleh dikatakan setara dengan sifat-sifat lainnya seperti sifat berani, belas kasih, dan lain-lainnya.

Kalau seseorang dikatakan harus berani, lalu apakah orang tersebut harus berani dalam segala hal? Tentunya ada batas-batas tertentu dari keberanian orang tersebut, misalnya: orang tersebut berani dalam mengambil keputusan, akan tetapi saat ia diminta untuk mencoba "buggy jumping" atau mungkin diminta untuk menyanyi didepan umum maka orang tersebut akan tidak berani.

Lalu bagaimanakah ini: "Apakah keberanian itu harus bisa dilaksanakan 100%?"

Demikian pula halnya dengan "belas kasih", walaupun harus kita miliki namun saat kita menghadapi ular, harimau ataupun penjahat yang sangat mengancam diri kita, apakah kita harus melaksanakan belas kasih 100%?

Tentunya tidak dan inipun berlaku untuk kejujuran. Dalam berbisnis orang dituntut untuk jujur sehingga dipercaya orang.

Apakah benar kejujuran yang dituntut?, apakah bukan suatu tindakan yang benar yang dituntut?

Mungkin hanya salah kaprah orang meminta pihak lain untuk jujur dalam berbisnis. Dalam dunia bisnis sendiri ada hukum-hukum tertentu yang dipakai dan kalau dari prinsip "gunakan energi sesedikit mungkin untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya", hal ini akan sangat bertentangan dengan kejujuran, namun akan tetap dapat diterima bila seseorang menjalankannya dengan benar dan tidak menyakiti pihak-pihak lain.

Seorang anak jatuh dan orang tuanya spontan menyatakan "Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, tidak sakit kok! Jangan nangis, yach!"

Menurut saya ini adalah salah orang tua tersebut dalam menanggapi masalah tersebut, mungkin ada alternatif lain yang bisa kita gunakan misalnya "Oh, jatuh ya, mana yang sakit, sini diberi obat agar tidak sakit", dengan tanggapan yang demikian kita mendidik anak untuk mengerti suatu permasalahan, bahwa dia jatuh dan sakit dan perlu diobati dan kita tidak berbohong.


Bagaimana dengan kebenaran?

Kebenaran tidak dapat dibantah, harus dilaksanakan dengan mutlak. Seorang pedagang mengatakan tidak untung menjual barangnya, tentunya bisa dilihat pedagang tersebut tidak jujur karena bisa saja pedagang tersebut telah mendapatkan keuntungan atau mungkin dia telah mendapat bonus dari pabrik tetapi dia tidak mengutarakannya.

Namun hal ini tetap dibenarkan dalam berbisnis, jadi bisa dilaksanakan meskipun pedagang tersebut tidak jujur. Kecuali pedagang tersebut memalsukan barang yang asli dengan yang palsu atau barang lain yang kualitasnya lebih jelek dari barang sebenarnya, hal ini adalah tidak benar, sehingga salah bila dilaksanakan, maka kita harus melakukan sesuatu yang benar.

Nah dari uraian saya diatas saya coba menjawab pertanyaan:
Dalam Siu Tao ( ) untuk mengejar kesempurnaan apakah kita bisa tidak berbohong?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin menyetarakan dulu istilah "berbohong" disini sama dengan "tidak jujur tetapi untuk kebaikan".

Bila hal ini kita sepakati dan memahaminya, maka tidak masalah kita berbohong, karena kita masih berpijak pada kebenaran.

Contoh-contoh konkrit yang kita bisa lihat misalnya:
• Seorang teman saya setelah membeli daging, dia menyimpan uangnya bersama daging tersebut dalam tas plastik, dan menyisakan sedikit uang disaku, diperjalanan dalam kendaraan umum dia ditodong oleh penjahat dan dimintai uang, dia mengeluarkan uangnya dari sakunya yang hanya sedikit dan memberikannya pada penjahat tersebut dan mengatakan dia tidak punya uang, bahkan dia mengatakan dia perlu ongkos untuk pulang pada penjahat tersebut, yang akhirnya dia diberi beberapa ribu untuk ongkos (Wah, teman saya telah berbohong dua kali).
• Kita menyumbang untuk amal, ketika ditanya siapa yang menyumbang, kita tidak mengaku karena kita tahu amal tidak perlu di gembar-gemborkan, inipun kita berbohong.
Kedua contoh tersebut diatas adalah tindakan yang benar, maka tidak masalah kita melakukannya.

Demikian uraian ini mudah-mudahan dapat sebagai wacana untuk diolah kembali.

Oleh: Albert Hendra Wijaya

Jujur, Cakap, dan Kreatif-Inovatif

Jujur, Cakap, dan Kreatif-Inovatif

Ada tiga kunci yang harus kita miliki untuk membangun kredibilitas. Itu ialah, jujur, cakap, dan kreatif-inovatif. Lalu, mengapa harus jujur? Logikanya, orang yang jujur tak mungkin berbohong. Apabila ia berkata A maka yang terlihat adalah A bukan B, C, D, dan seterusnya.

Orang yang jujur mustahil munafik. Karena itu ia, selain tak mudah berbohong, ia pun akan berusaha menepati janji dan tergolong amanah. Dalam hal ini, kejujuran merupakan persoalan karakter. Sehingga untuk berlaku jujur dibutuhkan pembiasaan terutama sejak kecil. Jadi, apa salahnya bila kita jujur? Untuk menopang kejujuran jelas ada hal lain yang harus dipenuhi.

Itulah yang disebut cakap. Orang yang cakap tidak berarti ia harus mampu dalam hal-hal teknis. Kalau saja ia mampu mengelola orang ia juga bisa dikatakan cakap. Dan untuk bisa cakap, maka diri harus sering dilatih, wawasan dan keterampilan dikembangkan secara kontinu dan sistematis sehingga memiliki kesiapan memadai dalam menghadapi hidup. Dengan cara ini, kelalaian dan kecerobohan sebagai biang kesalahan dan kegagalan dapat diminimalisasi.

Nilai lebih kejujuran dan kecakapan akhirnya terbangun dengan kreasi dan inovasi. Bisa jadi ada orang yang jujur dan cakap, namun sedikitpun ia tidak kreatif-inovatif. Sebaliknya ada yang kreatif maupun inovatif tetapi ia tidak jujur dan cakap. Kreatif dan inovatif bisa memunculkan prestasi. Akan tetapi prestasi itu sendiri harus ditunjang oleh karakter individunya sendiri.

Karenanya, bila ketiga hal yang tampak sepele ini tak ada pada seseorang, maka kredibilitasnya patut dipertanyakan.n mns/mqp

Keuntungan Ramah (1)

Orang yang ramah akan diterima oleh siapa saja. Jika ia orang kaya yang ramah maka orang miskin pun menghargainya. Sebaliknya jika orang miskin berlaku ramah kepada siapa pun termasuk di hadapan yang kaya, maka harga dirinya tak sedikitpun berkurang.

Konon sifat ramah merupakan satu dari sekian sifat yang bakal mengundang rezeki. Rezeki kita selaku manusia memang telah ditetapkan, dan wajib kita "jemput". Namun kalau istilah 'menjemput rezeki' bernada membutuhkan usaha maka dengan berlaku ramah justru rezeki akan datang dengan sendirinya.

Ambil contoh, seorang pedagang yang ramah terhadap calon pembelinya (meskipun kemudian pembeli tidak membeli dagangannya) sedikitpun ia takkan rugi. Sebab dengan pelayanan ramah saja ia sudah mendapat satu poin kepedulian pembeli. Minimal pembeli akan mengingatnya untuk suatu saat kembali untuk benar-benar membeli barang dagangannya.n mns/mqp ( )

Analisa SWOT

Analisa SWOT

Tingkatkan Bisnis dengan Analisa SWOT
Dwiarko Susanto 23-07-08 07:07

Analisa SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) sudah biasa digunakan oleh perusahaan-perusahan besar agar kinerja bisnis tetap terjaga untuk melipatgandakan profit. Sebenarnya, analisa ini bisa juga digunakan untuk bisnis berskala kecil. Berikut langkah-langkah analisa SWOT yang telah disederhanakan:
1. Weakness (Kelemahan)
Apa saja kelemahan bisnis anda? Bagaimana cara mengatasi kelemahan bisnis anda? Apakah anda kekurangan modal? Kurang tenaga ahli? Apakah anda terus menerus mengalami kerugian?

2. Strength (Kekuatan)
Analisa kekuatan bisnis anda secara mendalam. Apa keunggulan bisnis anda? Aset apa yang dimiliki? Unikkah penawaran bisnis anda dibandingkan kompetitor lainnya?

3. Opportunities (Peluang)
Cermati segala peluang atau kesempatan untuk kesuksesan bisnis anda. Apakah ada segmen pasar yang terlewati, pasar yang sama sekali belum tersentuh oleh kompetitor anda? Bagaimana pola perilaku konsumen anda? Adakah kompetitor lemah dengan konsumen yang bisa anda ambil alih?

4. Threats (Ancaman)
Apa saja ancaman terhadap bisnis anda? Kompetisi semakin ketat? Apakah kondisi keuangan bisnis anda cukup memadai untuk mengatasi hambatan yang akan muncul nantinya?

http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=773&Itemid=51

NADIA

Aspek Fisik Bagi Wirausahawan

Aspek Fisik Bagi Wirausahawan

Agus Ernawan 25-04-08 11:00

Karena wirausahawan dituntut untuk dapat bekerja sekitar 17 jam sehari, maka tentu saja kondisi fisiknya harus bisa mendukung persyaratan tak tertulis tersebut. Artinya, ia harus sehat dan kuat, baik jasmani maupun rohani. Sering kita dengar semboyan yang berbunyi : Mens sana in corpore sano yang artinya kira-kira : “Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula”. Namun, seorang pakar pernah mengatakan bahwa semboyan itu sering ditentang orang, karena kenyataannya belum tentu atau tidak selalu orang yang sehat fisiknya, sehat pula jiwanya. Banyak kejadian memperlihatkan, bagaimana orang-orang yang sehat kuat ternyata berlaku kejam, zalim dan sewenang-wenang. Itu membuktikan bahwa orang sehat tubuh bisa saja tidak sehat jiwanya. Oleh karenanya, para pakar keolahragaan memodifikasi semboyan itu menjadi : Utini, mens sana in corpore sano, sehingga artinya menjadi : “Semoga, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula”.

Didunia wiraswasta, pengusaha harus pula sehat dan kuat, baik jiwa maupun fisiknya. Untuk membina fisik, harus diperhatikan beberapa faktor antara lain, pola kokua (makan, minum dan rokok, berasal dari bahasa Hawaii ), pola istirahat, serta olahraga. Ketiga pola ini perlu diperhatikan dan ditata kembali, agar bisa menciptakan suatu kebiasaan hidup yang baik, sesuai dengan kebutuhan seorang wiraswatawan ideal.
Kita perlu menyadari bahwa tidak ada yang lebih berharga didunia ini dari pada kesehatan. Itu sebabnya, pada bab I kita sudah menekankan terlebih dahulu bahwasanya bukan uanglah satu-satunya sasaran pengusaha, akan tetapi suatu paket kebahagian yang didalamnya sudah termasuk aspek kesehatan dan juga aspek keuangan. Kesemuanya itu terpadu dalam satu pola kesatuan yang disebut “Roda Penghidupan”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan pengusaha, terutama pengusaha kecil yang baru mengawali karirnya kejenjang yang lebih tinggi, selalu diliputi tekanan kerja yang cukup berat. Target-target penjualan, batas-batas waktu penyerahan barang dan penyelesaian proyek, kesinambungan produksi dan sebagainya, sering menyebabkan pengusaha lengah akan pembinaan fisiknya. Terlebih lagi pengusaha muda usia, karena kondisi tubuhnya masih prima, kecenderungan mengabaikan kesehatan menjadi kejadian yang biasa.
Sebab-sebab yang umum menjadi pencetus penyakit tubuh, antara lain terlambat makan atau makan tidak teratur, lupa waktu dan kerja terlalu berat, merokok berlebihan, kurang minum dan kurang bergerak. Hal itu sering ditambah lagi dengan kehidupan malam yang “over dosis”, dalam rangka menjamu relasi atau memang kesenangan sendiri.
Betapapun hendaknya kita sadar, bahwa kesehatan lebih berharga dari segalanya. Alasan paling klasik dari semua usahawan yang mengabaikan pola-pola makan, minum, istirahat dan olahraga yang sehat adalah, tidak sempat, tidak ada waktu atau terlanjur lupa. Kambing hitamnya mudah untuk ditunjuk, yaitu menumpuknya tugas dan pekerjaan. Benarkah demikian ?
Mengkambing hitamkan volume kerja, sebenarnya tidak etis dan cenderung membohongi diri
sendiri. Yang terjadi sebenarnya hanyalah masalah prioritas. Sesuatu yang terasa tidak sempat, tidak sukup waktu atau terlupa untuk dikerjakan, menunjukkan bahwa objek yang dibicarakan tidak cukup mendapatkan prioritas. Dengan kesadaran ini, sudah sepantasnyalah daftar priotitas itu diperiksa kembali, dan tempatkan olahraga pada salah satu tingkat prioritas teratas. Sebelum, peristiwa fatal yang sama-sama tidak kita inginkan terlanjur datang menimpa.
Hakekat olahraga adalah menggerakkan anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi sedemikian, sehingga peredaran darah didalam tubuh menjadi lancar. Lancarnya peredaran darah akan membantu lancarnya distribusi makanan dan oksigen keseluruh bagian badan, dengan begitu, fisik akan sehat dan terasa segar. Dengan kondisi sehat-segar seperti itulah hendaknya para usahawan bekerja, agar supaya produktivitas bisa dicapai secara maksimal.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa olahraga bagi wiraswastawan bertujuan agar tubuhnya tetap segar dan bisa tetap bekerja dengan baik dan konsisten. Walaupun olahraga itu penting, tapi intensitas latihan harus dijaga agar jangan sampai menyebabkan kelelahan yang berlebihan (over training). Karena, lelah yang berlebihan bukannya membawa kesegaran fisik, malah sebaliknya yang bersangkutan akan menjadi “teler” bahkan bisa mengakibatkan sakit. Bagaimana mungkin kerja kalau mengalami hal seperti itu ?
Kebutuhan berolahraga dengan intensitas yang benar sudah diketahui manusia sejak jaman dahulu. Dr. Hua To (190-265M), seorang dokter terkenal dinegeri Cina mengungkapkan : “Tubuh manusia memerlukan latihan, namun tidak boleh melebih takaran. Olahraga dapat membersihkan udara kotor dari dalam sistem pernafasan, melancarkan peredaran darah serta menangkis serangan penyakit. Seperti pintu rumah yang selalu dipergunakan tidak akan menjadi rapuh, begitu juga badan menusia perlu digerakkan agar menjadi awet muda..!”
Pola makan harus diperhatikan. Kurangi mengkonsumsi lemak dan bahan-bahan yang mengandung kolesterol dan gula. Seimbangkan komposisi daging dan sayuran, perhatikan konsep 4 sehat 5 sempurna. Perbanyak minum air putih segar tanpa es, dan sedapat mungkin jauhi kebiasaan minum kopi, minuman keras serta merokok. Serangan jantung dan stroke akhir-akhir ini banyak terjadi dan menjadi pembunuh utama bagi kalangan eksekutif. Hal yang terakhir ini sudah menjadi perhatian para pimpinan perusahaan dan instansi, dan berbagai usaha mengkampanyekan “perang” terhadap penyakit jantung sudah dilakukan.
Sekitar tahun 1993 - 1995, penulis pernah memberikan pelatihan-pelatihan di PT. Telkom, dan apa yang dilakukan oleh BUMN tersebut dalam usahanya untuk menjaga kesehatan karyawan, amat berkesan. Salah satunya adalah dengan memasang poster-poster berukuran sedang disemua ruang kerja dengan tulisan : “Hindari serangan jantung dengan tidak merokok, jauhi stress dan berolahraga dengan teratur”.
Begitu juga pada perusahaan PT. National Gobel, sebagaimana umumnya perusahaan Jepang, mereka bersenam (tayzo) setiap pagi terlebih dahulu sebelum bekerja. Dikantor-kantor pemerintah, setiap hari Jum’at diadakan Senam Kesehatan Jasmani (SKJ) dan senam aerobik. Hal-hal seperti ini perlu dicontoh oleh para wiraswastawan, baik junior maupun senior dan semua yang profesinya mengandung potensi stress.

http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=740&Itemid=51

syarifah

MARKETING / PEMASARAN

MARKETING / PEMASARAN

MOHAMMAD SHOLEH, SE

I. PENGERTIAN

Menurut AMA (The American Marketing Assosiation tahun 1902) : “ Pemasaran adalah suatu kegiatan usaha yang mengarahkan aliran barang dan jasa dari produsen kepada konsumen.

Philip Kolter : ‘ Pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran’.

Williem J. Stanton : ‘ Pemasaran adalah system keseluruhan kegiatan usaha yang ditunjukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromoskan, mendistribusikan, barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli yang actual maupun potensial’.

Manajemen pemasaran adalah kegiatan untuk merencanakan, manganalisis, mengimlementasikan dan mengawasi terhadap program-program yang disusun untuk menciptakan, membentuk, dan mempertahankan secara bersama-sama hubungan pertukaran yang memberikan keuntungan dengan pasar sasarannya demi tercapainya sasaran organisasi.

II. FALSAFAH

Falsafah Manajemen Pemasaran terdiri dari :
1. Falsafah pertama yang disebut juga konsep produksi, yaitu falsafah yang menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia dengan harga yang terjangkau, karena itu tugas manajemen yang utama adalah menjaga agar produk menjadi efisien, demikian pula pendistribusiannya.
2. Falsafah kedua yaitu falsafah yang menyatakan bahwa konsumen hanya memilih produk yang bermutu baik dengan harga tertentu, karena itu tugas manajemen adalah menjaga kualitas produk.
3. Falsafah ketiga disebut konsep penjualan yaitu falsafah yang menyatakan bahwa konsumen hanya membeli barang-barang yang dirasa penting bagi mereka dan tidak bersedia membeli dalam jumlah yang lebih besar bila tidak didorong dengan melalui alat-alat penggalak penjualan.
4. Falsafah keempat menganut pandangan bahwa tugas organisasi adalah menetapkan kebutuhan dan keinginan pasar yang dijadikan sasarannya dan berusaha menyesuaikan organisasi dengan tujuan memberikan kepuasan pasar agar dapat memperoleh keuntungan.
5. Falsafah terakhir atau juga konsep pemasaran kemasyarakatan adalah falsafah yang menyatakan bahwa dalam usaha memberikan kepuasan konsumen atau pasar, sasaran hendaknya tetap memperhatikan peningkatan mutu hidup atau tetap menjaga kelestarian dan memperkokoh kesejahteraan konsumen maupun masyarakat.

III. PERANAN

Peranan Pemasaran dalam Perusahaan adalah sebagai berikut :
• Peranan pemasaran sebagai fungsi yang setaraf dengan fungsi-fungsi lain dalam perusahaan (fungsi keuangan, personalia, produksi dan administrasi).
• Peranan pemasaran sebagai fungsi yang lebih penting disbanding fungsi-fungsi lainnya.
• Pemasaran sebagai fungsi pokok sedangkan fungsi yang lain sebagai penunjang atau pendukung ( pemasaran sebagai jantung perusahaan ).
• Pemasaran sebagai fungsi yang setaraf dengan fungsi-fungsi lainnya, sehingga langganan sebagai fungsi pengontrol.
• Pemasaran sebagai fungsi yang pemadu dan langganan sebagai fungsi pengontrol, sedang fungsi-fungsi yang lain sebagai fungsi pendukung.


IV. SISTEM

Sistem pemasaran adalah kumpulan lembaga-lembaga yang melakukan tugas pemasaran dan factor-faktor lingkungan yang saling memberikan pengaruh, membentuk dan mempengaruhi hubungan antara perusahaan dengan pasarnya.

Sasaran system pemasaran adalah untuk memaksimalkan konsumsi, mamaksimalkan kepuasan, memaksimalkan pilihan dan memaksimalkan mutu hidup.
Dengan perkataan lain sasaran system pemasaran adalah bagaimana perusahaan dapat memaksimalkan penjualannya dengan memberi atau menjanjikan kepuasan maksimal bagi konsumen atau pasar yang menjadi sasarannya.

V. FAKTOR

Faktor-faktor pemasaran antara lain :
- Tingkat pengetahuan konsumen mengenai harga dan kualitas dari barang-barang sejenis dipasaran.
- Tujuan pembelian. Bagi konsumen yang sekedar membeli untuk memenuhi kebutuhannya akan berbeda dengan konsumen yang membeli untuk memaksimumkan kepuasan kebutuhannya.
- Struktur pasar yang dihadapi perusahaan.
- Situasi permintaan, dalam situasi permintaan lebih besar dari pada penawaran, dimana konsumen siap membeli produk manapun yang ditawarkan, konsep produksi adalah cocok.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen, yaitu :
• Factor kebudayaan yang mencakup factor budaya, sub budaya dan kelas social.
• Factor social yang mencakup kelompok anutan, keluarga dan status pembeli.
• Factor pribadi, seperti umur, pekerjaan, situasi ekonomi, tingkat penghidupan dan kepribadian.
• Factor psikologis, seperti motivasi, pandangan dan kepercayaan.

VI. PASAR

Pasar menurut pengertian pemasaran dari Philip Kotler adalah perangkat segenap pembeli suatu produk, baik yang actual maupun yang potensial. Namun tidak jarang istilah pasar sering dikaitkan dengan kebutuhan manusia atau jenis produk atau kelompok kependudukan atau lokasi geografis. Misalnya pasar hiburan, pasar sepatu, pasar kelompok remaja, pasar tanjung=penduduk jember sebagai kelompok pembeli dalam transaksi potensial atas suatu barang atau jasa.

Menurut Stanton, pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, mempunyai daya beli dan mempunyai kesediaan untuk membelanjakan uangnya. Sebenarnya kedua pengertian diatas tidaklah berbeda secara prinsipil, sebab yang disebut ‘perangkat’ merupakan daya beli dan tentunya termasuk kesediaan membelanjakan uangnya untuk mendapatkan sesuatu produk sesuai dengan keinginan dan kemampuan daya belinya. Dari pengertian diatas, maka luas sempitnya pasar akan tergantung dari banyak sedikitnya orang yang berminat terhadap sesuatu produk (obyek), sumber yang diperlukan dan kesediaan membelanjakan sumber itu.

Sebenarnya pasar itu terjadi kalau ada tiga komponan, yaitu orang yang berdaya beli, mempunyai minat terhadap sesuatu obyek dan kesediaan membelanjakan sumber yang dimilikinya. Persoalan pasar itu muncul apakah ada orang yang bersedia menukarkan uangnya, bila ada yang berminat maka sudah dapat disebut sudah ada pasar. Bila terjadi pertukaran berarti terciptalah pasar actual. Tetapi bila baru ada orang yang mempunyai minat atau keinginan untuk puas, barulah ada pasar potensial.






Dua jenis pasar:
1. Pasar konsumen adalah semua orang dan rumah tangga yang membeli barang atau jasa bagi pemenuhan kepuasan dan kebutuhan pribadi.
2. Pasar produsen adalah semua orang atau lembaga yang membeli barang atau jasa yang akan digunakan dalam pembuatan barang atau disewakan atau perlengkapan (supplier) barang atau jasa pihak lain.

Bagi perusahaan yang pasarnya produsen akan dapat memaksimalkan usaha-usaha pemasarannya bila mengetahui :
- apa saja yang dibeli (bahan baku, bahan pembantu dan bahan lainnya)
- kapan pembeliannya, ini dipengaruhi oleh kebijaksanaan produsen yang bersangkutan, misalnya dalam persediaan barang.
- Siapa yang terlibat dan bagaimana pengaruh relatif dalam pengambilan keputusan pembelian.
- Factor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian seperti pandangan ekonomis dimasa depan dan kedudukan pengambil keputusan.
- Tahap-tahap dalam proses pembelian, sebagai tugas baru atau sebagai pekerjaan rutin.

Yang termasuk pasar menjual kembali adalah semua individu atau organisasi yang membeli untuk dijual kembali atau disewakan untuk mendapatkan laba.
Pasar penjual kembali menghadapi tiga jenis situasi, yaitu :
- situsi pembelian barang baru
- situasi penjualan terbaik
- situasi persyaratan

Tahapan yang ada dalam proses keputusan pembeli adalah :
• Tahap pertama adanya kebutuhan sesuatu
• Tahap kedua yaitu adanya perhatian yang lebih besar terhadap barang atau jasa
• Tahap ketiga pencarian informasi
• Tahap keempat kesadaran
• Tahap kelima pilihan
• Tahap keenam pembelian
• Tahap ketujuh perilaku purna jual

Sedangkan untuk proses keputusan pembelian produk baru melalui tahap-tahap : kesadaran, minat, evaluasi, coba-coba dan adopsi/penerimaan.
Perangkat penggugah adalah rangkaian alternatif yang benar-benar akan dipertimbangkan oleh pembeli pada tahap proses pengambilan keputusan. Perangkat ini pada umumnya mencakup merk, penjual, jumlah persediaan barang, waktu pembelian dan cara pembayaran.




VII. STRATEGI

Strategi pemasaran adalah suatu perangkat dasar yang konsekuen, tepat dan layak, yang oleh suatu perusahaan diharapkan akan memungkinkan untuk mencapai tujuan, sasaran dan mendapatkan keuntungan dalam suatu persaingan tertentu.
Adapun fakto-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih strategi pemasaran yang akan digunakan, yaitu:
- Ukuran besarnya persaingan dan posisi persaingan dalam lingkungan pasarnya.
- Sumber daya, tujuan dan kebijaksanaan khas perusahaan yang bersangkutan.
- Strategi para pesaing.
- Perilaku pembelian konsumen.
- Situasi dan kondisi perekonomian.


Factor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen :
a. Karakteristik pembeli, dimana karakteristik pembeli ini dipengaruhi oleh kebudayaan (darimana ia datang, cirri-ciri sub kebudayaan dan kelas social), factor social (kelompok anutan, keluarga, peran dan statusnya), factor psikologis (persepsi, sikap, pengetahuan dan keyakinan).
b. Karakteristik penjual. Pandangan konsumen terhadap pelayanan pengecer, sikap, pabrik pembuat dan kualitas).
c. Karakteristik produk. Model, kualitas, merk dan harga.
d. Karakteristik situasi. Pandangan kondisi ekonomi dan informasi mengenai barang atau jasa.

Kebaikan dan keburukan strategi pemasaran.

a. Kebaikan strategi pemasaran serba sama :
• adanya penghematan biaya
• adanya program periklanan yang serba sama
• penekanan biaya-biaya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan produk
sedangkan keburukannya antara lain:
- akan terjadi persaingan yang ketat
- mengurangi keuntungan

b. Kebaikan strategi pemasaran serba-aneka antara lain :
- memperoleh volume penjualan yang lebih besar
- mendapatkan posisi yang mendalam dalam setiap segmen pemasaran
- adanya kesetiaan konsumen
sedangkan kelemahannya adalah :
- meningkatnya biaya modifikasi produk, biaya administrasi, biaya penyimpanan, dan biaya promosi
- agak sulit memperoleh volume penjualan yang optimal

c. Kebaikan strategi pemasaran terpusat antara lain :
- didapatkannya pengetahuan yang luas mengenai kebutuhan segmen yang dituju
- memperoleh posisi pasaran yang kuat pada segmen khusus
sedangkan keburukannya antara lain :
- segmen pasar lesu, sehingga penjualan terganggu
- menambah saingan yang tidak kecil resikonya

Mengenal Cara Belajar Individu

Mengenal Cara Belajar Individu

Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.

Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi "pintar". Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru menimbulkan masalah bagi anak dan remaja.

Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung-kunjung pintar? Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola informasi.

Otak Sebagai Pusat Belajar

Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun. Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai seumur hidup agar terhindar dari kerusakan.
Menurut MacLean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain/three in one brain (dalam DePorter & Hernacki, 2001). Bagian pertama adalah batang otak, bagian kedua sistem limbik dan yang ketiga adalah neokorteks.
Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal dari panca indra. Perilaku yang dikembangkan bagian ini adalah perilaku untuk mempertahankan hidup, dorongan untuk mempertahankan spesies.
Disekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas. Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. Selain itu sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan, penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam otak yaitu neokorteks.
Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupkan 80% dari seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya pusat kecerdasan manusia. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang lebih tinggi berada, diantaranya adalah : kecerdasan linguistik, matematika, spasial/visual, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi.

Karakteristik Cara Belajar

Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu hanya yang memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol sehingga jika ia mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika sang individu menemukan metode belajar yang sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi "pintar" sehingga kursus-kursus atau pun les private secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi.
Adapun ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti disebutkan diatas, menurut DePorter & Hernacki (2001), adalah sebagai berikut:

1.
Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Visual


Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:


• rapi dan teratur
• berbicara dengan cepat
• mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik
• teliti dan rinci
• mementingkan penampilan
• lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar
• mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual
• memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik
• biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang belajar
• sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta instruksi secara tertulis)
• merupakan pembaca yang cepat dan tekun
• lebih suka membaca daripada dibacakan
• dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan.
• jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara
• lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
• sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat "ya" atau "tidak'
• lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/berceramah
• lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik
• seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-kata

2.
Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Auditorial


Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:


• sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja
• mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik
• lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca
• jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras
• dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara
• mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita
• berbicara dalam irama yang terpola dengan baik
• berbicara dengan sangat fasih
• lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya
• belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat
• senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar
• mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan visualisasi
• lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras daripada menuliskannya
• lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/komik

3.
Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Kinestetik


Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut:


• berbicara dengan perlahan
• menanggapi perhatian fisik
• menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka
• berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain
• banyak gerak fisik
• memiliki perkembangan otot yang baik
• belajar melalui praktek langsung atau manipulasi
• menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung
• menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang membaca
• banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal)
• tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama
• sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut
• menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
• pada umumnya tulisannya jelek
• menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik)
• ingin melakukan segala sesuatu

Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai. Bagi para remaja yang mengalami kesulitan belajar, cobalah untuk mulai merenungkan dan mengingat-ingat kembali apa karakteristik belajar anda yang paling efektif. Setelah itu cobalah untuk membuat rencana atau persiapan yang merupakan kiat belajar anda sehingga dapat mendukung agar kemampuan tersebut dapat terus dikembangkan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaat berbagai media pendidikan seperti tape recorder, video, gambar, dll. Selamat mencoba. Semoga bermanfaat. (jp)

http://www.e-psikologi.com/remaja/260902.htm
Oleh: Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi.

Jakarta, 26 September 2002

Bagaimana Menjadi Percaya Diri ?

Bagaimana Menjadi Percaya Diri ?

Gabungan 3M
Dalam bahasa gaul harian, pede yang kita maksudkan adalah percaya diri. Semua orang sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu ini. Ada orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan, dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum pede dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan praktek hidup, kita bisa mengatakan bahwa yang terakhir itu normal dalam arti dialami oleh semua manusia.

Sebenarnya apa sih yang kita maksudkan dengan istilah pede itu? Kalau melihat ke literatur ilmiahnya, ada beberapa istilah yang terkait dengan persoalan pede ini. Di sini saya hanya ingin menyebutkan empat saja:

 Self-concept: bagaimana Anda menyimpulkan diri anda secara keseluruhan, bagaimana Anda melihat potret diri Anda secara keseluruhan, bagaimana Anda mengkonsepsikan diri anda secara keseluruhan.

 Self-esteem: sejauh mana Anda punya perasaan positif terhadap diri Anda, sejauhmana Anda punya sesuatu yang Anda rasakan bernilai atau berharga dari diri Anda, sejauh mana Anda meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga di dalam diri Anda

 Self efficacy: sejauh mana Anda punya keyakinan atas kapasitas yang Anda miliki untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to succeed). Ini yang disebut dengan general self-efficacy. Atau juga, sejauhmana Anda meyakini kapasitas anda di bidang anda dalam menangani urusan tertentu. Ini yang disebut dengan specific self-efficacy.

 Self-confidence: sejauhmana Anda punya keyakinan terhadap penilaian Anda atas kemampuan Anda dan sejauh mana Anda bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil. Self confidence itu adalah kombinasi dari self esteem dan self-efficacy (James Neill, 2005)

Berdasarkan itu semua, kita juga bisa membuat semacam kesimpulan bahwa kepercayaan-diri itu adalah efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya. Ketika ini dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, orang yang memiliki kepercayaan rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa / bersikap sebagai berikut :

 Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh
 Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang)
 Mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan
 Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah
 Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal)
 Canggung dalam menghadapi orang
 Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang meyakinkan
 Sering memiliki harapan yang tidak realistis
 Terlalu perfeksionis
 Terlalu sensitif (perasa)

Sebaliknya, orang yang kepercayaan diri bagus, mereka memiliki perasaan positif terhadap dirinya, punya keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang yang punya kepercayaan diri bagus bukanlah orang yang hanya merasa mampu (tetapi sebetulnya tidak mampu) melainkan adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungannya.

Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal yang paling mendasar dalam praktek hidup kita. Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memperjuangkan keinginannya untuk meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Ini seperti dikatakan Mark Twin: “Apa yang Anda butuhkan untuk berprestasi adalah memiliki komitment yang utuh dan rasa percaya diri. “

Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya. Orang yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya “lebih besar” dari masalahnya. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Ini seperti yang diakui Mohammad Ali. “Satu-satunya yang membuat orang lari dari tantangan adalah lemahnya kepercayaan diri.”
Kesimpulan Bandura (Dr. Albert Bandura, 1994), menjelaskan bahwa self-efficacy yang bagus punya kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumukan tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu mampu mengatasi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya.
Tak hanya Bandura yang kesimpulan semacam itu. Pakar pendidikan juga punya kesimpulan yang bernada sama. Self-efficacy yang bagus akan menjadi penentu keberhasilan seseorang (pelajar) dalam menjalankan tugas. Mereka lebih punya kesiapan mental untuk belajar, lebih punya dorongan yang kuat untuk bekerja giat, lebih tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai level prestasi yang lebih tinggi (Pajares & Schunk, The Development of Achievement Motivation, San Diego: Academic Press, 2002.).

Sisi-sisi Negatif
Secara normal bisa dikatakan bahwa semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Ini misalnya terkait dengan dua hal yang sudah kita bahas di muka. Hanya memang ada satu hal yang perlu kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif ini perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau merusak. Di antara sisi negatif itu adalah:

 Arogansi. Kita merendahkan orang lain (looking down atau humiliate) karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Arogansi seperti ini ditolak oleh semua tatanan nilai di dunia ini. Sah-sah saja kita merasa lebih dari orang lain tetapi yang paling penting di sini adalah jangan sampai kita memandang rendah orang lain, apalagi menghina baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

 Merasa paling benar sendiri dan tidak bisa menerima kebenaran milik orang lain. Terkadang memang ada alasan untuk merasa benar tetapi yang perlu kita waspadai adalah munculnya perasaan paling benar yang membuat kita menyimpulkan orang lain semua salah. Biarpun kita benar tetapi kalau kita merasa semua orang lain salah, ini bisa membuat kita salah.

 Menolak opini orang lain / tidak bisa mendengarkan pendapat orang lain, saran orang lain, tidak mau mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain atau keras kepala (stubbornness). Opini orang lain memang tidak semuanya perlu kita dengarkan tetapi juga tidak semuanya perlu ditolak. Ada hal-hal positif yang bisa kita ambil dari opini orang lain. Konon, salah satu faktor yang membuat para pengusaha ambruk setelah mengalami kejayaan adalah karena menolak mendengarkan opini orang lain, menolak belajar dari orang lain, bersikap fleksibel terhadap perubahan. Mereka menjadi orang yang tertutup oleh pengalaman kejayaannya selama ini.

 Memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati. Model komunikasi demikian kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang “sincere”, di samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri, orang lain akan lebih nyaman bila didekati dengan model komunikasi yang empatik, asertif atau persuasif.

 Kurang perhitungan terhadap bahaya potensial atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail. Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan dalam mengatasi masalah atau berpikir “beyond the technique” itu memang positif dan dibutuhkan. Tetapi jika ini membuat kita terbiasa menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu membahayakan.

 Kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Tidak mudah mempercayai omongan orang lain atau tidak mudah mempercayai penjelasan orang lain atas kemampuannya sebelum ada bukti-bukti yang nyata, memang ini dibutuhkan. Ada kalanya kita tidak bisa 100% mempercayai orang lain. Tetapi akan jadi masalah jika kita tidak bisa mempercayai orang lain untuk semua hal, tidak bisa mendelegasikan pada orang lain untuk semua pekerjaan, selalu underestimate, selalu ingin menjadi “polisi” atas orang lain dan semisalnya, ini bisa menyusahkan diri sendiri.

 Punya penilaian-diri yang “over”, mematok imbalan yang terlalu tinggi, menuntut diperlakukan secara terlalu idealis. Sah-sah saja kita punya penilaian diri yang setinggi langit sekali pun, mematok “harga” setinggi-tingginya, namun jika itu malah membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan pemikiran alternatif dan belajar menjadi fleksibel. Jangan sampai kita patah gara-gara kita terlalu keras. Jangan sampai pula kita tidak bisa membedakan antara tahu diri dan tidak tahu diri dalam praktek. Bedanya sangat tipis.
Sisi-sisi negatif yang saya sebutkan di atas mungkin bisa kita sebut dengan istilah “terlalu pede”. Ini juga berbeda dengan pede. Menurut kaidah yang berlaku dalam praktek hidup, sesuatu yang sudah terlalu, itu biasanya jelek dan dipandang jelek.

Membangun Kepercayaan diri
Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:

1. Menciptakan definisi diri positif.
Steve Chandler mengatakan, “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu.” Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:
o Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang merusak atau yang menghancurkan.
o Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki
o Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.
Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya. Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif. Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.

2. Memperjuangkan keinginan yang positif
Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.

3. Mengatasi masalah secara positif
Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.

4. Memiliki dasar keputusan yang positif.
Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru: “Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU”. Artinya, kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

5. Memiliki model / teladan yang positif
Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.

http://www.e-psikologi.com/remaja/101106.htm
Oleh : Ubaydillah, AN

Jakarta, 10 November 2006

KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI

KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI

Dewasa ini, dunia kewirausahaan (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak orang merasa masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan, lingkungannya para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri seakan-akan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.

Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Pada beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang katanya berhasil menjadi kaya, dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai orang-orang terkemuka yang dekat dengan para pejabat pemerintahan.

Terlepas dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta bagaimana cara mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti persoalan : “Benarkah kewiraswastaan merupakan wacana tentang bagaimana caranya untuk menjadi kaya ?”
Kalau bicara sekadar menjadi kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan, ada pengemis jalanan berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk para koruptor dan pengemis, menjadi figur panutan dalam wacana kewirausahaan ? Rasanya tidak lah ya..?

Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya. Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak 3 dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : “Keterampilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi bergerak dan berjalan dengan stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak, menurun dan lain sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kecepatan adalah soal lain..”

Apa yang dikatakan sang instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan. Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mencuri, merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Seberapa kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, cara-cara yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.

Dalam kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses dan kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup bermewah-mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan pakaian dan perhiasan yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang kepada masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya dia. Kewiraswastaan hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada saat jatuh.

Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wiraswasta” yang menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.
Terkadang orang tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang swasta” tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira”, yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis.
Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah, tidak dapat dikatakan sebagai wiraswastawan sejati, selama harta yang dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak benar seperti kolusi, memeras, menipu, mafia-isme dan lain-lain aktivitas sejenis.

Saya menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya, “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka kemudian timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi.

Saya berpendapat, istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dari kalangan perusahaan swasta. Sebagai istilah yang mewakili kata “entrepreneurship”, penggunaannnya sudah sangat universal, sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut :

wira = luhur, berani, jujur, ksatria.
swa = sendiri.
sta = berdiri.

Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.

Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”, atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.

Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.

Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :

1). Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.
2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.
3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.
4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.
5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales representative, business representative, salesmen/girl door to door.
6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.
7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.
8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.
9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.
10). Para makelar yang jujur.
11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer.
12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh.
Posted by Rusman Hakim at 5:03 PM
2 comments:
vespa said...
bagus, membuka pikiran saya tentang wiraswsta. ditunggu tulisan berikutnya
7:45 PM
yogadiyasa said...
"kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali"

Kalimat ini yang dapat saya ambil dan telaah dalam pikiran saya.
Walaupun sya org teknik yang dididik menjadi teknokrat, jiwa kewiraan saya tetap ada.
Terima kasih atas penulisan artikel ini.
Sungguh luar biasa...
Ditunggu artikel selanjutnya...
12:45 PM
Monday, April 10, 2006
KOLOM: ENTREPRENEURSHIP’S COMMON SENSE:
JUDUL : KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI
Oleh: Rusman Hakim

Mengapa Perlu Optimis ?

http://www.e-psikologi.com/dewasa/220107.HTM
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 22 Januari 2007

Mengapa optimisme diperlukan?

Apakah Anda seorang yang optimis dalam menghadapi bulan-bulan ke depan di tahun 2007 ini? Tunggu dulu. Kita orang optimis atau pesimis tidak penting diutarakan secara verbal di hadapan orang lain. Kitalah orang yang paling tahu apakah kita seorang yang optimis atau pesimis. Tingkat ke-optimis-an dan ke-pesimis-an kita tidak bisa diukur dengan ucapan mulut. Mulut kita memang bisa saja mengatakan kita ini orang optimis. Meski begitu, jika yang kita praktekkan sehari-hari justru bertentangan dengan kaidah-kaidah optimisme, maka kita bukanlah orang yang optimis.
Optimisme memiliki dua pengertian. Pertama, optimisme adalah doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus buat kita (punya harapan). Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin untuk merencanakan aksi, peristiwa atau hasil yang lebih bagus. Kalau dipendekkan, optimis berarti kita meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus dan keyakinan itu kita GUNAKAN untuk menjalankan aksi yang lebih bagus guna meraih hasil yang lebih bagus.
Optimisme seperti itu dalam prakteknya sangat diperlukan. Ini antara lain dengan alasan-alasan:
Pertama, energi positif (dorongan). Kalau bicara harapan sebatas harapan (baca: harapan mulut), tentunya kita sudah tahu kalau harapan itu tidak bisa mengubah apa-apa. Lalu untuk apa kita membutuhkan harapan (optimisme)? Ini untuk mengeluarkan energi positif. Untuk menciptakan langkah dan hasil yang lebih bagus dibutuhkan harapan yang lebih bagus agar energinya lebih bagus. Memiliki harapan yang lebih bagus akan memunculkan energi dorongan yang lebih bagus.
Sekarang, coba kita bayangkan apa yang akan kita rasakan seandainya kita sudah tidak memiliki harapan adanya kehidupan yang lebih bagus di masa datang? Kemungkinan yang paling dekat adalah kita tidak terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih bagus, terasa hambar, terasa biasa-biasa saja. Kehidupan yang lebih bagus memang tidak bisa diwujudkan dengan hanya harapan, namun untuk meraihnya dibutuhkan harapan yang bagus. Karena itu ada yang mengatakan, selama harapan itu masih ada berarti kehidupan kita masih ada. Collin Powell sendiri mengakui: “Optimism is a force multiplier.
Kedua, perlawanan. Tingkat perlawanan seseorang terhadap masalah atau hambatan yang dihadapinya juga terkait dengan tingkat keoptimisannya. Orang dengan optimisme yang kuat biasanya punya perlawanan yang kuat untuk menyelesaikan masalah atau hambatan. Sebaliknya, orang dengan optimisme rendah (pesimis), biasanya punya tingkat perlawanan yang lebih rendah, cenderung lebih mudah pasrah pada realitas atau keadaan ketimbang memperjuangkannya.
Secara agak lebih ekstrim sedikit, kita bisa membagi manusia dalam menghadapi masalah / hambatan itu menjadi tiga kelompok, seperti yang ditulis Less Brown dalam “Learn To Be Winner” (Top Achievement: 2000]. Ketiga kelompok itu adalah the winner (pemenang), the loser (pecundang) dan the potential winner (calon pemenang). Menurut Kevin Costner, yang disebut pemenang itu adalah orang yang jatuh, gagal dan kurang, tetapi pada akhirnya menang karena pendirian, keyakinan dan komitmen yang dipegangnya dengan teguh untuk mencapai impiannya."
Apa yang membuat seseorang menjadi pemenang dan pecundang? Tentu banyak faktor yang terlibat. Tapi kalau mau melihat kondisi faktor internal, tentu peranan harapan atau optimisme tidak bisa dielakkan. Kalau mau pakai pedoman pendapat Greg Phillip (The ultimate potential: 2004), faktor internal yang terlibat itu adalah: a) harapan, b) keyakinan, c) kontrol-diri, dan d) sikap mental.
Ketiga, sistem pendukung. Harapan optimisme juga berfungsi sebagai sistem pendukung. Kalau kita menginginkan keberhasilan, lalu kita berpikir berhasil, punya kemauan untuk berhasil, punya sikap yang dibutuhkan untuk berhasil dan melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk keberhasilan itu, maka logikanya kita pasti berhasil. Soal kapannya itu urusan lain.
Yang menjadi masalah buat kita adalah kita menginginkan keberhasilan tetapi kita malas-malas (tidak punya kemauan), punya sikap yang tidak mendukung, berpikir negatif, harapannya pesimis, dan lebih sering tidak melakukan hal-hal yang kita butuhkan untuk berhasil. Ibarat mesin, jika yang aktif hanya satu sistem, sementara sistem yang lain mati atau bekerja untuk hal-hal yang tidak kita inginkan, maka operasi sistem itu kurang optimal.

Intinya, harapan di sini bukan tujuan, apalagi tempat bergantung. Kita tidak boleh menggantungkan harapan pada harapan itu, melainkan pada usaha. Harapan di sini adalah metode atau jalan agar kita bisa mengeluarkan energi positif, bisa mengatasi masalah secara positif sepositif harapan kita dan bisa memiliki mesin prestasi yang seluruh sistemnya bergerak secara positif.

Sebuah temuan mengungkap bahwa orang yang memiliki harapan optimis, umumnya memiliki kualitas di dalam diri yang antara lain:
 Punya fokus langkah yang selektif, punya sasaran usaha yang jelas
 Bisa menerima fakta hidup dengan kesadaran, tanpa banyak mengeluh atau memprotes
 Memiliki bentuk keyakinan yang membangkitkan
 Punya perasaan diberkati rahmat Tuhan
 Punya kemampuan untuk menikmati kehidupan
 Punya kemampuan dalam menggunakan akal sehatnya dalam menghadapi tantangan hidup
 Punya kemampuan untuk menjalankan agenda perbaikan diri secara terus menerus
 Punya penghayatan yang bagus terhadap praktek hidup yang dijalankan sehingga bisa membedakan praktek yang salah dan praktek yang benar; praktek yang tepat dan praktek yang menyimpang
 Punya kepercayaan yang bagus terhadap kemampuannya
 Punya perasaan yang bagus terhadap dirinya


Apa yang perlu dihindari dalam berharap?
Meski untuk berharap itu tidak ada peraturannya, namun berdasarkan pengalaman dan kebiasaan, ada beberapa hal yang akan lebih bagus kalau dihindari. Beberapa hal itu antara lain:

Pertama, harapan mulut (wish). Seperti apa harapan mulut itu? Kalau kita berharap adanya hari esok yang lebih bagus, namun itu hanya kita gunakan dalam ucapan atau tulisan, tanpa diiringi dengan tujuan, perencanaan, strategi, tehnik dan pelaksanaannya (aksi), ya ini namanya harapan mulut. Biasanya, harapan seperti ini tidak mengubah apa-apa. Harapan seperti ini sama seperti fantasi atau keinginan-keinginan yang sifatnya masih umu.

Para pakar pengembangan diri umumnya membedakan antara “wish” dengan “goal” (tujuan atau keinginan yang jelas). Katanya, orang lemah biasanya hanya punya wish; sementara orang kuat biasanya memiliki goal. Goal adalah keinginan dengan sasaran yang jelas dan jelas-jelas kita usahakan. Sekedar punya wish dalam pengertian seperti ini, tentu semua orang bisa. Sayangnya, praktek hidup ini tidak peduli dengan berbagai wish yang kita ucapkan.

Kedua, terlalu berharap (over-expectation). “Jangan terlalu berharap nanti kecewa sendiri”, itu pesan yang sering kita dengar. Memang ini tidak pasti tetapi biasanya begitu. Terlalu berharap itu berbeda dengan memiliki harapan yang kuat (optimis). Harapan yang kuat berujung pada aksi atau usaha yang kuat. Seperti yang sudah kita bahas, optimisme itu artinya kita menciptakan keyakinan dan menggunakannya dalam bertindak. Sementara, terlalu berharap biasanya hanya berhenti pada mengharap, untuk mengharap dan selalu mengharap. Ada pepatah yang berpesan begini: “Jika kau mengharapkan sesuatu, jangan terlalu mengharapkannya.” Bahkan Samuel Somarset mengamati bahwa terlalu mengharapkan sesuatu kerapkali malah mengundang datangnya sesuatu yang tidak kita harapkan. Inilah anehnya hidup itu.

Ketiga, berharap dengan setengah takut (ragu-ragu). Biasanya, harapan seperti ini lahir dari ketidaktahuan kita secara akurat. Jika kita mengharapkan hari esok yang lebih bagus, namun kita tidak tahu apa alasan kita berharap seperti itu, ya mau tidak mau harapan kita tidak steril. Harapan kita masih bercampur dengan ketakutan dan keragu-raguan. Seperti kata Coach Bear Bryant, yang membedakan orang per-orang itu bukan harapannya pada keberhasilan, tetapi persiapannya. Semua orang mengharapkan keberhasilan, tetapi hanya orang yang punya persiapan matang yang berpeluang untuk berhasil.

Keempat, menggantungkan harapan pada kenyataan.Kalau kita hari ini punya harapan cerah karena sehabis terima bonus tahunan, kemudian bulan depan kita berharap lesu karena tidak ada bonus, ini namanya menggantungkan harapan pada kenyataan. Artinya, kita men-set harapan itu sesuai dengan kenyataan-sementara yang kita hadapi.

Pada ukuran yang wajar, bisalah kita sebut ini kelemahan-manusiawi yang wajar. Dibilang tidak bagus memang tidak bagus tetapi ini dimiliki oleh semua manusia. Nah, agar kewajaran ini tidak membuahkan kerugian atau kefatalan, maka kita diajarkan untuk menggantungkan harapan pada Tuhan(iman), bukan pada realitas. Artinya, kita perlu belajar menemukan alasan yang kuat untuk bisa memiliki harapan optimisme, terlepas realitas-sementara yang kita hadapi. Seperti pesan Einstein, orang optimis bisa melihat sinar di ujung kegelapan; bisa melihat tanda-tanda peluang di balik kesulitan.

Kelima, mempertentangkan harapan dan kenyataan. Apa yang membuat orang stress berkepanjangan? Apa yang membuat orang terkena konflik-diri terlalu lama? Salah satunya adalah kurang bisa me-manage gap antara harapan dan kenyataan. Orang yang bisa me-manage, biasanya menjadikan kenyataan sebagai dorongan untuk mewujudkan harapannya. Mereka bisa menggunakan ketidakpuasan sebagai dorongan untuk menciptakan perubahan. Banyak kan orang yang akhirnya mendapatkan “berkah” dari kenyataan buruk yang dihadapinya?

Sebaliknya, orang yang belum bisa me-manage, kerapkali menjadikan kenyataan ini sebagai killer harapannya. Mereka menjadikan kenyataan sebagai penyubur apatisme dan pesimisme. Meski sama-sama menghadapi kenyataan yang sama, namun karena sikap mentalnya berbeda, ya akan berbeda hasilnya. Tidak sedikit kan orang yang selalu menuding kenyataan dan menjadikan kenyataan itu sebagai dalil pembenar untuk hopeless?

Bagaimana menciptakan harapan yang optimis?
Harapan optimistik berbeda dengan harapan pesimistik. Bedanya dimana? Bedanya adalah, yang pertama harus diciptakan, sedangkan yang kedua tidak usah diciptakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana menciptakan harapan optimistik itu? Di bawah ini ada beberapa pilihan yang bisa kita jadikan acuan:

Pertama, memiliki tujuan atau sasaran aktivitas yang jelas. Apa tujuan yang hendak anda raih di tahun 2007 ini? Kalau anda pelajar/ mahasiswa, tentukan tujuan atau standar prestasi yang benar-benar ingin anda raih. Kalau anda seorang karyawan, tentukan tujuan atau standar prestasi yang hendak anda wujudkan. Kalau anda seorang pengusaha, tentukan tujuan usaha anda yang lebih tinggi dari yang kemarin.

Banyak studi yang sudah mengungkap bahwa keoptimisan seseorang itu terkait dengan “internal value” dan “standard”. Memiliki harapan optimistik tidak bisa dibuat-buat. Sejauh di dalam batin kita ada standar, ada sasaran atau tujuan yang benar-benar berarti buat kita dan benar-benar kita perjuangkan, maka secara otomatis harapan itu muncul. Seperti kata C.R. Synder, Ph.D, penulis buku “The Psychology of Hope”, bahwa menentukan tujuan merupakan cara untuk membangkitkan harapan.

Kedua, ciptakan opini-diri yang bagus. Orang itu memang bermacam-macam. Terkait dengan opini-diri ini, ada orang yang meng-opini-kan dirinya sebagai orang lemah, tidak memiliki apa-apa, merasa tidak sanggup untuk merealisasikan tujuannya, merasa tidak punya alasan untuk berhasil, merasa tidak memiliki resource yang dibutuhkan, dan lain-lain. Ada juga orang yang berusaha meng-opini-kan dirinya sebagai orang kuat (warrior), merasa yakin dan mampu akan dapat mewujudkan tujuannya, merasa punya alasan yang kuat untuk berhasil, tahu apa yang harus dilakukan, tahu resource yang bisa digunakan, dan seterusnya.

Opini-diri mana yang lebih positif untuk kita miliki? Tentu saja yang kuat. Opini-diri yang kuat memang tidak otomatis dapat merealisasikan tujuan-tujuan atau sasaran yang kita buat. Tetapi perlu diingat, untuk merealisasikan tujuan itu dibutuhkan opini-diri yang bagus. Coba saja kita membiarkan opini-diri yang lemah, mana mungkin kita sanggup untuk sekedar punya harapan yang optimistik.
Jhon C. Maxwell pernah berpesan begini: “Ketika anda mengubah pikiran anda maka keyakinan anda akan berubah. Ketika anda mengubah keyakinan anda maka harapan anda berubah. Ketika anda mengubah harapan anda maka sikap anda akan berubah. Ketika anda mengubah sikap anda maka prilaku anda akan berubah. Ketika anda mengubah prilaku anda maka performansi anda akan berubah. Ketika anda mengubah performansi anda maka hidup anda akan berubah.”

Ketiga, miliki sikap dan pandangan yang sehat tentang hidup ini. Konon, salah satu penyebab yang membuat orang gagal memiliki harapan optimistik adalah sikapnya yang kurang sehat. Bagaimana sikap dan pandangan yang kurang sehat itu? Salah satunya adalah ketika kita tidak bisa menerima kenyataan dengan berbagai macam warna-warninya (fakta kehidupan). Ketika kita tidak belajar menerima kehidupan ini seperti adanya untuk kita usahakan seperti yang kita inginkan, memang yang kerap terjadi malah membikin kita mudah terkena stress atau tekanan. Kalau sudah begini, harapan kita juga terancan. Tetaplah berharap akan adanya kehidupan yang lebih bagus tetapi juga harus mengakui dengan kesadaran akan fakta hidup yang ada: terkadang ada OK dan terkadang tidak OK.

Keempat, temukan model. Model yang dimaksudkan di sini adalah orang. Temukan orang yang kira-kira budaya hidupnya bisa anda contoh. Temukan orang yang kira-kira pendapatnya tentang diri anda dan dunia ini bisa membangkitkan anda. Temukan orang yang bisa meng-inspirasi anda. Saran Mark Twin, jangan mendekati orang yang ucapannya malah menghancurkan harapan anda (menggembosi). Jangan pula mencontoh orang yang tidak punya harapan optimistik apabila kita ingin punya harapan optimistik.

Orang seperti itu bisa orang yang anda di sekeliling anda, kenalan, atau orang yang anda kenal lewat karyanya saja. Di majalan Fast Company edisi 20 Desember 2006 ini, ada kalimat yang bagus untuk kita ingat. Kalimat itu bunyinya begini: "Often the most important people in our network are those who are acquaintances." Acquaintances itu belum menjadi friend apalagi close friend, tetapi kenalan. Intinya, kita tidak perlu pusing mencari model orang karena ada dimana-mana dan bisa siapa saja.

Kelima, tingkatkan keimanan. Salah satu esensi keimanan adalah adanya kesadaran bahwa kita ini “dimiliki” (being owned) oleh Tuhan atau munculnya perasaan “kebersamaan” dengan Tuhan. Semakin kuat keimanan itu, semakin kuat juga kesadaran itu dan rasa kebersamaan itu. Punya kesadaran yang kuat bahwa kita ini “dimiliki” akan membuat kita tidak mudah merasa sendirian atau merasa tidak memiliki siapa-siapa dalam menatap masa depan. “Keimanan”, menurut kesimpulan Margo Jones, adalah prasyarat bagi semua usaha.

Semoga bermanfaat !

Kewiraswastaan atau Entrepreneur

Kewiraswastaan atau Entrepreneur

Guru Bidang Studi : Mohammad Sholeh, SE

SMK MUHAMMADIYAH JEMBER

JULI 2007

Secara etimologis, wiraswasta merupakan suatu istilah yang berasal dari kata-kata ‘wira’ dan ‘swasta’. Wira berarti berani, utama, atau perkasa. Swasta merupakan paduan dari dua kata : ‘swa’ dan ‘sta’. Swa artinya sendiri, sedangkan Sta berarti berdiri. Swasta dapat diartikan sebagai berdiri menurut kekuatan sendiri.
Wiraswasta ialah keberanian, keutamaan serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri.
Dengan demikian pengertian wiraswasta bukan hanya sekedar usaha partikelir atau kerja sambilan di luar dinas negara, melainkan sifat-sifat keberanian, keutamaan, keuletan dan ketabahan seseorang dalam usaha memamjukan prestasi kekaryaan, baik dibidang tugas kenegaraan maupun partikelir dengan menggunakan kekuatan diri sendiri.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia wiraswasta orang yang memiliki :
1. potensi untuk berprestasi
2. memiliki motivasi yang besar
3. maju berprestasi
4. mampu menolong dirinya sendiri
5. mampu mengatasi permasalahan hidup
6. mampu memenuhi kebutuhan hidup
7. mampu mengatasi kemiskinan
8. tidak menunggu bantuan/pertolongan
9. tidak suka bergantung kepada pihak lain
10. tidak suka menunggu uluran tangan
11. tidak suka tergantung kepada alam
12. tidak mudah menyerah kepada alam
13. berusaha untuk menundukkan alam

Untuk mencapai atau memiliki kualitas manusia wiraswasta, seseorang harus memiliki kekuatan sebagai modal. Sedang untuk memiliki modal kekuatan ini orang harus belajar, sehingga padany terdapat sumber daya manusia.
Orang yang mampu mengenal diri akan menyadari, bahwa di dalam dirinya terdapat kelemahan ataupun kekuatan pribadi. Pribadi yang lemah dilandasi oleh jiwa yang pesimis, statis, tergantung dan masa bodoh, sedangkan pribadi yang kuat dilandasi oleh jiwa yang optimis, dinamis dan kreatif.
Bagaimanakah cirri-ciri pribadi yang kuat ? kita hendaknya tidak membiarkan diri untuk dikuasai oleh jiwa yang kerdil (penuh dengan pesimistis, statis, ketergantungan, dan kebodohan). Bilamana orang membiarkan dirinya terkuasai oleh jiwa kerdilnya, maka ia akan memperoleh kehidupan yang kerdil pula.
Manusia yang berkepribadian kuat memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1. memiliki moral yang tinggi
2. memiliki sikap mental wiraswasta
3. memiliki kepekaan terhadap arti lingkungan
4. memiliki ketrampilan wiraswasta

Manusia yang bermoral tinggi itu setidak-tidaknya memiliki/menjalankan enam sifat utama :
1. ketaqwaan kepada Allah SWT
2. kemerdekaan batin
3. keutamaan
4. kasih sayang terhadap sesama manusia
5. loyalitas hokum
6. keadilan

Keyakinan yang kuat dapat kita tumbuhkan didalam jiwa kita dengan syarat :
1. kita harus mengenal diri kita sindiri sebagai makhluk yang memiliki kelemahan, namun memperoleh anugerah kekuatan dari Allah SWT untuk mengatasi kelemahan kita iti
2. kita harus percaya kepada diri sendiri, bahwa kita memiliki potensi tersendiri yang tidak kurang kuatnya dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Coba renungkan, kalau orang lain bisa mencapai kesuksesan, mengapa kita tidak bisa ?
3. kita harus mengetahui dengan jelas terhadap tujuan-tujuan serta kebutuhan kita, dimana kita dapat mendapatkannya, bagaimana cara-cara untuk mencapai atau memenuhinya, serta kapan/berapa lama target waktu untuk mencapai/memenuhinya. Setiap tujuan, kebutuhan dan rencana-rencana kita harus senantiasa menguasai jiwa kita dengan penuh kesadaran. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga dengan demikian timbul pula kegairahan dan semangat untuk maju dan kita terdorong dan tergerak untuk berbuat.

Adapun cara-cara untuk menumbuhkan sifat-sifat kejujuran dan tanggungjawab adalah dengan :
1. mendidik diri sendiri sehingga memiliki moral yang tinggi. Dengan perkataan lain, kita hendaknya belajar:
- untuk bertaqwa kepada Allah Swt
- belajar untuk memperoleh kemerdekaan batin
- belajar untuk mementingkan keutamaan
- belajar untuk mematuhi hokum-hukum yang berlaku
- belajar untuk berlaku adil kepada sesame manusia
2. melatih disiplin diri sendiri (‘self descpline’). Kita akan mustahil untuk begitu saja menjadi manusia jujur dan bertanggungjawab, apabila kita tidak membina kepribadian kita. Rasa tanggungjawab dapat ditumbuhkan didalam diri kita melalui latihan berdisiplin. Dengan melatih disiplin diri sendiri, maka kita akan memperoleh ketabahan, keuletan dan keteraturan tingkah laku dan perbuatan kita.

Latihan disiplin diri diri sendiri dapat kita lakukan dengan jalan :
a. membatasi keinginan-keinginan kita. Hidup kita diliputi oleh berbagai macam keinginan, baik keinginan-keinginan daging/jasmani, maupun keinginan-keinginan jiwa/rohani. Akibat dosa yang ditanggung oleh manusia, maka tidak semua keinginan kita adalah baik atau positif. Oleh karena itu kita harus belajar mengekang atau membatasi berbagai macam keinginan kita, terutama keinginan-keinginan yang negatif yang merugikan kelestarian hidup kita.
b. melatih daya kemauan kita agar menjadi lebih kuat. Telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa kemauan kita dapat terancam oleh kondisi-kondisi yang memperkuat atau memperlemah kemauan.

Beberapa hal yang perlu kita miliki untuk menjadi manusis tahan uji lahir batin adalah :
a). Sehat Jasmani dan Rohani
b). Memiliki Kesabaran
c). Memiliki Ketabahan

untuk dapat bekerja keras itu perlu ditunjang dengan :
a). Ketekunan Bekerja
b). Keuletan Berjuang

Manusia yang bersikap mental wiraswasta setidak-tidaknya memiliki enam kekuatan mental yang membangun kepribadian yang kuat :
1). Berkemauan keras
2). Berkeyakinan kuat atas kekuatan pribadi,
untuk ini diperlukan :
a). Pengenalan diri
b). Kepercayaan pada diri sendiri
c). Pemahaman tujuan dan kebutuhan
3). Kejujuran dan tanggungjawab,
Untuk ini diperlukan adanya :
a). Moral yang tinggi
b). Disiplin diri sendiri
4). Ketahanan fisik dan mental,
Untuk ini diperlukan :
a). Kesehatan jasmani dan rohani
b). Kesabaran
c). Ketabahan
5). Ketekunan dan keuletan untuk bekerja keras
6). Pemikiran yang konstruktif dan kreatif

Manusia wiraswasta setidak-tidaknya harus memiliki empat hal agar dirinya peka/sensitive terhadap arti lingkungan bagi kehidupannya :
1. pengenalan terhadap arti lingkungan
2. rasa syukur atas segala yang diperoleh dan dimiliki
3. keinginan yang besar untuk menggali dan mendayagunakan sumber-sumber ekonomi lingkungan setempat
4. kepandaian untuk menghargai dan memanfaatkan waktu secara efektif

Pada garis besarnya, pemikiran ilmiah dapat berlangsung dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1). Merumuskan tujuan, keinginan dn kebutuhan baik bagi diri sendiri maupun bagi pihak lain
2). Merumuskan permasalahan yang berhubungan dengan usaha mencapai tujuan, keinginan dan kebutuhan diatas
3). Menghimpun fakta-fakta obyektif yang berhubungan dengan obyek yang sedang kita fikirkan
4). Mengolah fakta-fakta itu dengan pola berfikir tertentu, baik secara induktif ataupun deduktif, atau mencari hubungan antar fakta sehingga ditemukan berbagai alternatif
5). Memilih alternatif yang dirasa paling tepat
6). Menguji alternatif itu dengan mempertimbangkan hukum sebab akibat sehingga ditemukan manfaat alternatif itu bagi kehidupan
7). Menemukan dan meyakini gagasan
8). Mencetuskan gagasan itu, baik secara lisan maupun tertulis

Maka ketrampilan berpikir kreatif membutuhkan dua hal :
1. daya imajinasi yang menunjang proses berpikir
2. cara berfikir ilmiah

Dalam proses pembuatan keputusan, keragu-raguan dan ketidak setujuan diperlukan, karena keraguan dan ketidak setujuan bermanfaat untuk :
1). Memungkinkan penerimaan bersama terhadap keputusan yang diambil
2). Memoerkaya alternative-alternatif untuk melahirkan keputusan yang lebih mantap.
3). Keraguan merangsang daya imajinasi untuk mendapatkan jawaban yang benar terhadap suatu masalah. Daya imajinasi bekerja bersama pikiran untuk menelaah masalah dalam situasi baru sehingga diperoleh pengenalan dan pengertian.

Beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam usaha melatih ketrampilan untuk memimpin diri sendiri yaitu dengan jalan sebagai berikut :
1. Mengenal diri sendiri
2. Melatih kemauan
3. Melatih disiplin diri sendiri

Kualitas kepribadian seseorang menentukan ketrampilan kepemimpinan seseorang. Adapun kualitas kepribadian itu meliputi :
1). Kapasitas mental (intelegensi, fasilitas verbal dan nalar)
2). Prestasi (gelar kesarjanaan, pengalaman pendidikan, pengalaman kerja dan pengetahuan
3). Tanggungjawab (ketergantungan, kepercayaan pada diri sendiri dan ambisi)
4). Partisipasi (kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan bergaul dan aktivitas)
5). Status (posisi sosial-ekonomi dan popularitas)

Oleh karena itu ketrampilam kepemimpinan seseorang ditentukan oleh beberapa faktor berikut :
1. kemauan bergaul dengan orang lain
2. mengenal dan belajar melayani kebutuhan orang lain
3. suka mengambil inisiatif
4. memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain
5. mampu membangun moral kerja dalam kelompok
6. menciptakan situasi pekerjaan yang menantang dan menyenangkan
7. berusaha memberikan banyak sumbangan bagi pemecahan masalah kelompok
8. mampu membimbing pengertian dan tingkah laku kelompok untuk tercapainya tujuan bersama
9. suka bertukar fikiran dan pendapat dengan orang lain

a. Keimanan dan semangat
(1). Beriman dan berbuat kebaikan
(2). Bersyukur kepada Allah Swt
(3). Percaya pada diri sendiri
(4). Memelihara kepercayaan orang yang dipercayakan kepadanya
(5). Rasa keadilan yang sejauh mungkin seimbang
(6). Inisiatif (prakarsa) dan disiplin diri
(7). Rasa tanggungjawab dalam kehidupan
(8). Keutamaan memajukan lingkungan (kecil-besar)
(9). Tahu apa maunya (cita-cita)
(10). Tekad menyebar-luaskan segala hal yang baik
(11). Berani mengambil resiko
(12). Riwayat hidup orang-orang besar kalangan pemerintah dan swasta sedunia

b. Sikap mental kebiasaan watak kepribadian
(1). Sikap mental maju
(2). Gairah mengutamakan memberi dari pada menerima
(3). Ulet dan tekun
(4). Pandai bergaul; kepribadian menyenangkan (tidak kikir dengan senyuman)
(5). Meyakinkan diri sebelum bertindak
(6). Menolak benih fikiran kotor
(7). Mensyukuri dan menghargai waktu
(8). Seni bicara dengan santun
(9). Menghilangkan perasaan khawatir, iri hati, prasangka dan keserakahan
(10). Solidaritas persahabatan (kesetiakawanan)
(11). Kesetiaan
(12). Menghormati tertib hokum
(13). Tidak berlebihan dalam hal apapun
(14). Tidak gila hormat, pangkat, gelar dan kekuasaan
(15). Tahu diri dimanapun dan dalam keadaan apapun
(16). Kehormatan, Martabat & Harga Diri
(17). Mengendalikan diri (nafsu, beli, rakus)
(18). Kejujuran
(19). Memajukan Lingkungan
(20). Menolak pemberian tanpa berkarya


c. Daya Pikir Kreatif
(1). Berpikir maju (bebas-positif)
(2). Belajar sendiri
(3). Menarik pelajaran dari kegagalan dan perjalanan
(4). Buku Harian
(5). Pengalaman dan nasehat orang lain
(6). Keutamaan hasil kerjasamna
(7). Keberhasilan berkarya
(8). Dunia selalu haus akan sesuatu yang baru
(9). Efisiensi
(10). Kewaspadaan mental

d. Daya penggerak diri
(1). Kegairahan
(2). Diri Idaman (Imajinasi)
(3). Kesediaan berupaya untuk berhasil
(4). Menolak pemberian motivasi keberhasilan
(5). Psycho-Cyberneties (sibernetik kejiwaan)
(6). Pikiran kreatif
(7). Pikiran bawah sadar
(8). Pikiran akal
(9). Hati Nurani
(10). Daya cipta (menulis, melukis dan berkarya)
(11). Mengenal kesempatan

e. Resiko dan persaingan
(1). Mengenal risiko
(2). Keahlian mengambil risiko
(3). Risiko pertengahan
(4). Risiko dan Inisiatif
(5). Tiada sesuatu tanpa risiko
(6). Risiko yang diasuransikan
(7). Risiko yang tidak dapat diasuransikan
(8). Risiko perjudian
(9). Persaingan dan kerjasama

f. Kemampuan meyakinkan
(1). Keyakinan sendiri
(2). Meyakinkan
(3). Mengenal barang dan jasa sendiri
(4). Salesmanship
(5). Sikap-sikap dalam menjual
(6). Mengenal pasar
(7). Mengenal calon pembeli
(8). Siap akan jalan pemecahan
(9). Cara menjual
(10). Manfaat dan keuntungan calon pembeli
(11). Kejujuran mengenai kerusakan barang dagangan

g. Watak wiraswasta
a). Berwatak maju
b). Bergairah dan mampu menggunakan daya penggerak dirinya
c). Berpandangan positif dan kreatif
d). Selalu mengutamakan memberi daripada meminta atau mengemis
e). Ulet dan tekun, tidak lekas putus asa
f). Pandai bergaul
g). Memelihara kepercayaan yang diberikan kepadanya
h). Berkepribadian menyenangkan (banyak senyum)
i). Selalu ingin meyakinkan diri sebelum bertindak
j). Menolak dan memberantas benih-benih kebiasaan cara berfikir, bersikap dan berbuat negative dan lebih mengutamakan benih kebiasaan cara berfikir, bersikap mental dan berbuat positif (membawa kemajuan)
k). Sangat menghargai dan mendayagunakan waktu sampai pada satuan waktu yang kecil sekalipun
l). Memelihara seni berbicara dan kesopanan
m). Tidak ragu-ragu atau khawatir terhadap saingan yang timbul dari bawah maupun dari atas
n). Bersedia melakukan pekerjaan kasar dan rendahan (pengorbanan)
o). Tidak akan pernah mementingkan diri sendiri dan tidak akan pernah rakus atau serakah
p). Setia kepada pimpinan sebagai peserta yang baik dan penuh rasa kesetia-kawanan
q). Menghormati tertib hokum
r). Tidak berlebihan dalam hal apapun (tidak menampilkan diri dari kehidupan secara ‘overacting’)
s). Tidak gila pangkat dan gelar
t). Tidak gila kekuasaan
u). Memiliki tenggang rasa yang kuat (tahu diri)
v). Selalu mengejar martabat, kehormatan dan harga diri yang semakin tinggi, bukan menjualnya
w). Menahan diri dari keinginan berbelanja yang tidak terkendali, namun meningkatkan keinginan berproduksi dan kalau perlu menggalakkan aktifitas jual
x). Selalu mensyukuri yang kecil-kecil yang dialami atau ada pada diri sendiri
y). Beriman dan beramal baik sebagai syarat kepribadian yang jujur dan bertanggungjawab
z). Berusaha memperkuat daya kemauan, sanggup bekerja keras tidak mengenal lelah

h. Jiwa Wiraswasta
a). Beriman dan berbuat kebaikan
b). Percaya pada diri sendiri
c). Tidak suka tergantung kepada pihak lain, selalu mengutamakan tindakan berdikari
d). Berinisiatif, suka berkreasi dan menemukan hal-hal baru
e). Mempunyai rasa tanggungjawab, tidak suka mengingkari janji
f). Berdisiplin diri sendiri
g). Bertekad untuk dapat memajukan lingkungan
h). Berani mengambil risiko yang telah diperhitungkan secara masak-masak
i). Bertekad untuk menyebar-luaskan segala hal yang positif kepada kepentingan umum
j). Rasa keadilan yang sedapat mungkin diusahakan seimbang
k). Mempunyai tujuan-tujuan hidup dan cita-cita yang jelas
l). Memiliki kemauan yang kuat untuk hidup maju

i. Daya Pikir dan Ketrampilan Wiraswasta
a). Mampu mengendalikan kemauan untuk merencanakan kehidupan masa depan. Rencana itu sedapat mungkin disusun secara operasional
b). Suka mengajak orang lain untuk bekerjasama
c). Bermotivasi tinggi untuk berprestasi
d). suka belajar dengan membaca dan berpraktek untuk memperoleh hasil yang memuaskan
e). Menjadikan pelajaran dari kegagalan-kegagalan dalam petualangan dan perjuangan
f). Suka belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman diri sendiri
g). Suka mendengarkan pendapat dan nasehat dari orang lain untuk disaring dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan hidup
h). Suka mengikuti kursus-kursus atau latihan-latihan
i). Dapat berfikir merdeka dalam arti obyektif dan positif
j). Lebih mengutamakan kesuksesan berkarya dan memperoleh kepuasan atas hasil pekerjaannya sendiri
k). Lebih mengutamakan hasil kerjasama dalam usahanya daripada sekedar mengharapkan gaji atau upah melulu
l). Melayani dunia yang senantiasa haus akan barang-barang baru atau penemuan baru
m). Memperhatikan efisiensi dan efektifitas
n). Bersedia memberikan secara efisien sebagian hasil jerih payahnya untuk memajukan kehidupan lingkungannya
o). Mengalihkan diri dalam menghadapi risiko, persaingan, kerjasama dan kerugian, dengan daya saing yang kuat namun bermartabat

j. Berikut ini dikemukakan beberapa diantara cirri-ciri manusia wiraswasta dibidang pendidikan :
1). Mengerti dengan jelas tujuan-tujuan atau prestasi yang harus dicapai di dalam belajar dan bertingkah laku, baik di rumah, di sekolah, maupun di dalam masyarakat
2). Memiliki motivasi belajar yang kuat untuk mencapai prestasi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih bermanfaat
3). Berkemauan keras untuk menyelesaikan semua tugas dan pekerjaan demi kemajuan belajarnya yang telah direncanakan. Ia sanggup bekerja keras meskipun terasa berat
4). Percaya pada diri sendiri dalam setiap menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Ia tidak merasa bimbang atau ragu dalam setiap memulai dan menyelesaikan tugas-tugas itu
5). Suka berusaha untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas dalam belajar dengan menggunakan kekuatan pribadinya sendiri. Ia tidak suka terlalu tergantung kepada orang lain, tidak suka minta tolong kepada orang lain dalam mengerjakan setiap tugas yang dibebankan kepadanya
6). Mampu mendayagunakan waktu untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugas belajar secara kreatif. Waktu-waktu belajar dan bahkan waktu-waktu senggang dapat dimanfaatkan untuk menemukan makna, pengertian dan pengalaman hidup, misalnya sewaktu mengobrol, menonton pertunjukan, berekreasi dsb, bukan semata-mata hanya untuk santai atau iseng belaka, melainkan untuk membelanjakan diri
7). Rajin, tekun, ulet dan tabah dalam belajar meskipun menghadapi berbagai macam godaan dan rintangan, demi kesuksesan belajarnya
8). Tidak suka menunda-nunda pekerjaan yang mestinya dapat dikerjakan sekarang
9). Bekerja dengan teliti dan cermat untuk menghindari kesalahan-kesalahan. Tidak suka ngawur, tetapi selalu bersikap ilmiah

k. Masalah pendayagunaan potensi-potensi kepribadian ini akan lebih banyak ditentukan oleh :
1). Pribadi manusia yang bersangkutan, terutama faktor kemauan dan keyakinannya pada diri sendiri
2). Orang lain atau pihak lain yang membutuhkan tenaga kerja manusia
3). Kesempatan yang tersedia bagi manusia yang bersangkutan untuk berkarya dan berprestasi
Berikut ini adalah sekedar petunjuk untuk membagi dan mendayagunakan waktu kita secara efisien :
1). Sadarilah bahwa waktu adalah sangat berharga untuk mengisi kehidupan kita dengan berkarya dan berprestasi. Pemborosan waktu akan menghambat kemajuan kita untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi
2). Renungkanlah hal-hal yang menjadi tujuan-tujuan didalam hidup anda, setelah itu coba rumuskan tujuan-tujuan itu secara operasional dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi yang memperlancar dan yang menghambat tercapainya tujuan-tujuan tersebut
3). Buatlah perencanaan usaha dan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Perencanaan ini hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- merenungkan keberhasilan-keberhasilan yang pernah dialami, serta faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan tersebut
- merenungi kegagalan-kegagalan yang pernah diderita, serta faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut
- merenungi kelengahan dan kelemahan yang terdapat didalam pribadi anda, serta cara-cara mengatasi kelengahan dan kelemahan itu dengan kekuatan sendiri, yaitu dengan belajar/mendidik diri sendiri
- rancanglah jenis-jenis usaha dan kegiatan untuk mengisi hidup kita dan yang kiranya dapat menolong ke arah tercapainya tujuan-tujuan hidup kita
- tentukan prioiritas-prioritas usaha dan kegiatan yang dirasa penting untuk didahulukan realisasinya. Sehubungan dengan itu, buatlah perencanaan untuk usaha dan kegiatan-kegiatan saat sekarang, usaha dan kegiatan-kegiatan jangka menengah, dan yang jangka panjang
4). Biasakanlah diri kita untuk membagi dan menepati waktu dalam kehidupan sehari-hari pada setiap hari. Dalam hal ini akan lebih efektif apabila kita suka menyusun jadual kegiatan, baik harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Jadual ini akan menolong mengarahkan setiap langkah hidup kita, meskipun pelaksanaannya dapat secara fleksibel dalam arti bisa berubah menurut situasi dan kondisi
5). Latihlah disiplin diri sendiri didalam setiap melaksanakan kegiatan yang telah dijadualkan. Kita harus tahan dari setiap godaan yang dapat menggagalkan pelaksanaan rencana, misalnya ajakan pergi berdagang, acara televisi yang menarik, adanya pertandingan tinju, dan sebagainya. Usahakanlah tugas/kegiatan yang sedang dihadapi dapat diselesaikan pada waktunya
6). Untuk memperkuat disiplin diri, usahakanlah untuk membiasakan diri bekerja dengan konsentrasi penuh, untuk itu carilah tempat bekerja yang tenang, bebas dari berbagai gangguan konsentrasi
7). Jangan suka menunda-nunda pekerjaan, karena ini akan dapat menjadi kebiasaan yang terulang, apalagi kalau menghadapi pekerjaan yang berat
8). Kenalilah kondisi penyesuaian diri anda terhadap waktu. Ada waktu-waktu tertentu yang kurang cocok bagi fisik dan psikis kita untuk mengerjakan sesuatu tugas, dan ada pula waktu-waktu tertentu yang sangat cocok bagi kondisi fisik dan psikis kita untuk menyelesaikan sesuatu tugas. Dengan demikian gunakanlah waktu-waktu yang cocok bagi kondisi fisik dan psikis kita masing-masing untuk menyelesaikan setiap tugas
9). Bekerjalah didalam batas-batas kemampuan fisik dan psikis kita. Kita tidak usah memforsir diri untuk terus bekerja sehingga disamping merusah kondisi fisik dan psikis kita juga dapat mengurangi efdektifitas pekerjaan itu. Oileh karena itu selingan adalah penting untuk mengurangi ketegangan otak atau kelelahan. Selingan dapat berupa kegiatan-kegiatan istirahat, santai dan menghibur diri
10). Manfaatkanlah waktu-waktu senggang untuk kegiatan-kegiatan yang berguna bagi hidup kita, baik untuk belajar dan memperkaya pengalaman, maupun untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang mempercepat tercapainya tujuan-tujuan hidup kita.
11). Sedapat mungkin hindarilah kesalahan-kesalahan didalam melaksanakan tugas-tugas, karena kesalahan memerlukan perbaikan dan pengerjaan ulang dan dengan demikian membuang-buang waktu. Oleh karena itu bekerjalah secara cermat dan penuh ketelitian dengan berorientasi kepada tujuan yang hendak dicapai serta memperhatikan kondisi badan dan jiwa kita
12). Manfaatkanlah jam makan kita lebih produktif. Dengan makan bersama, kita mendapatkan kesempatan yang berhgarga untuk menjalin hubungan kekeluargaan, bertukar fikiran serta merancang kegiatan-kegiatan yang berdaya guna bagi kepentingan bersama
Dengan membagi serta mendayagunakan waktu kita dengan sebaik-baiknya, maka kita akan memperoleh kemajuan yang pesat didalam memenuhi kebutuhan hidup kita


Didalam buku : “PENDIDIKAN WIRASWASTA”
Judul Tulisan : ‘Pengertian Wiraswasta dan Ciri-ciri Manusia Wiraswasta’
Cetakan 2 : Mei 1989
Cetakan 3 : September 1992
Cetakan 4 : Desember 1993
Cetakan 5 : Desember 1996
Oleh : ‘Drs. Wasty Soemanto,M.Pd’.
Diterbitkan oleh : BUMI AKSARA
Jl. Sawo Raya No. 18 Jakarta 13220